Alkisah,

Ada seorang anak berumur belasan tahun bernama Clark yg pada suatu malam akan menonton sirkus bersama ayahnya. Ketika tiba di loket, Clark dan ayahnya mengantri di belakang serombongan keluarga besar yg terdiri dari bapak, ibu dan 8 orang anaknya.

Keluarga tadi terlihat bahagia malam itu dapat menonton sirkus. Dari pembicaraan yg terdengar oleh Clark dan ayahnya, Clark tahu bahwa bapak ke-8 anak tadi telah bekerja ekstra untuk dapat mengajak anak-anaknya menonton sirkus malam itu. Namun, ketika sampai di loket dan hendak membayar, wajah bapak 8 anak tadi nampak pucat pasi. Ternyata uang 40 dollar yg telah dikumpulkannya dengan susah payah, tidak cukup untuk membayar tiket untuk 2 orang dewasa dan 8 anak yg total harganya 60 dollar.

Pasangan suami istri itupun saling berbisik, bagaimana harus mengatakan kepada anak2 mereka bahwa malam itu mereka batal nonton sirkus karena uangnya kurang. Sementara anak2nya tampak begitu gembira dan sudah tidak sabar untuk segera masuk ke sirkus.

Tiba2 ayah Clark menyapa bapak 8 anak tadi dan berkata: “Maaf pak, uang ini tadi jatuh dari saku bapak”, sambil menjulurkan lembaran 20 dollar dan mengedipkan sebelah matanya.

Bapak 8 anak tadi takjub dengan apa yg dilakukan ayah Clark. Dengan mata berkaca-kaca, ia menerima uang tadi dan mengucapkan terima kasih kepada ayah Clark, dan menyatakan betapa 20 dollar tadi sangat berarti bagi keluarganya. Tiket seharga 60 dollar pun terbayar dan dengan riang gembira keluarga besar itu pun segera masuk ke dalam sirkus.

Setelah rombongan tadi masuk, Clark dan ayahnya segera bergegas pulang. Ya, mereka batal nonton sirkus, karena uang ayah Clark sudah diberikan kepada bapak 8 anak tadi. Malam itu, Clark merasa sangat bahagia. Ia tidak dapat menyaksikan sirkus, tapi telah menyaksikan dua orang ayah hebat.

Kebahagiaan tidak hanya diperoleh ketika menerima pemberian orang lain tapi juga pada saat kita mampu memberi. Ayah Clark telah memberi contoh yg baik kepada anaknya untuk menolong orang lain dengan cara yg sangat halus dan tidak menurunkan harga diri orang yg ditolong.

Dunia ini terus berputar, adakalanya kita menolong dan adakalanya kita juga memerlukan pertolongan dari orang lain. Pertolongan tidak selalu dalam bentuk uang tetapi bisa dalam bentuk-bentuk yg lain yg mungkin saat ini tak terpikirkan oleh kita. Selama kita masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk menolong sesama marilah kita menolong dengan ikhlas dan tidak berharap mendapat imbalan dari pertolongan yg telah kita berikan.

Tuhan memberkati kita selalu.

Di suatu hutan hiduplah sekelompok monyet. Pada suatu hari, tatkala mereka tengah bermain, tampak oleh mereka sebuah toples kaca berleher panjang dan sempit yang bagian bawahnya tertanam di tanah. Di dasar toples itu ada kacang yang sudah dibubuhi dengan aroma yang disukai monyet. Rupanya toples itu adalah perangkap yang ditaruh di sana oleh seorang pemburu.

Salah seekor monyet muda mendekat dan memasukkan tangannya ke dalam toples untuk mengambil kacang-kacang tersebut. Akan tetapi tangannya yang terkepal menggenggam kacang tidak dapat dikeluarkan dari sana karena kepalan tangannya lebih besar daripada ukuran leher toples itu. Monyet ini meronta-ronta untuk mengeluarkan tangannya itu, namun tetap saja gagal.

Seekor monyet tua menasihati monyet muda itu: “Lepaskanlah kepalanmu atas kacang-kacang itu! Engkau akan bebas dengan mudah!” Namun monyet muda itu tidak mengindahkan anjuran tersebut, tetap saja ia bersikeras menggenggam kacang itu. Beberapa saat kemudian, sang pemburu datang dari kejauhan.

Sang monyet tua kembali meneriakkan nasihatnya: “Lepaskanlah kepalanmu sekarang juga agar engkau bebas!” Monyet muda itu ketakutan, namun tetap saja ia bersikeras untuk mengambil kacang itu. Akhirnya, ia tertangkap oleh sang pemburu.

=================================================

Demikianlah, kadang kita juga sering mencengkeram dan tidak rela melepaskan hal-hal yang sepatutnya kita lepaskan: kemarahan, kebencian, iri hati, ketamakan, dan sebagainya.

Apabila kita tetap tak bersedia melepas, tatkala kematian datang “menangkap” kita, semuanya akan terlambat sudah. Bukankah lebih mudah jika kita melepaskan setiap masalah yang lampau, dan menatap hari esok dengan lebih cerah? Bukankah dunia akan menjadi lebih indah jika kita bisa melepaskan “kepalan” kita dan membagi kebahagiaan dengan orang lain? Be Happy!

SELAMAT MALAM TUHAN MEMBERKATI

Bai Fang Li adalah seorang kakek tua yang hidup di Tianjin, Cina. Ia bukanlah orang yang berkelimpahan harta. Li adalah kakek yang miskin secara materi, tetapi punya hati yang luar biasa kaya.

Kemiskinan tidak membuatnya punya alasan untuk tidak memberi. Ia terpanggil untuk memberi sumbangan kepada sekolah-sekolah dan universitas di kotanya untuk menolong lebih dari 300 anak miskin agar mampu memperoleh pendidikan demi masa depan mereka.

Selama 20 tahun ia menggenjot becaknya demi memperoleh uang agar bisa menambah jumlah sumbangannya. Ia memilih hidup secukupnya agar bisa semakin banyak memberi. Makan siangnya hanyalah dua buah kue kismis dan air tawar, sedang malamnya ia hanya makan sepotong daging atau sebutir telur. Baju yang ia kenakan diambil dari tempat sampah, jika mendapat beberapa helai pakaian itu sudah merupakan suatu kemewahan.

Li menarik becak tanpa henti, 365 hari setahun tanpa peduli kondisi cuaca baik ketika salju turun atau panas terik menyengat, dia terus mengayuh becaknya mulai jam 6 pagi hingga jam 8 malam. “Tidak apa-apa saya menderita, tetapi biarlah anak-anak yang miskin itu dapat bersekolah,” katanya.

Ketika usianya menginjak 90 tahun, ia tahu ia tidak mampu lagi mengayuh becaknya. Tabungan terakhirnya berjumlah 500 yuan atau sekitar Rp 650.000 dan semuanya ia sumbangkan ke sekolah Yao Hua.

Dia berkata, “Saya sudah tidak dapat mengayuh becak lagi. Saya tidak dapat menyumbang lagi. Ini mungkin terakhir yang dapat saya sumbangkan..”

Dan semua guru disana pun menangis. Tiga tahun kemudian, Bai Fang Li wafat dan dikatakan meninggal dalam kemiskinan.

Tetapi lihatlah dibalik kemiskinannya itu ia telah menyumbang 350.000 yuan secara total atau sekitar Rp 455 juta rupiah selama hidupnya. Ia membaktikan hidupnya secara penuh demi membantu anak-anak miskin yang tidak sanggup sekolah.

Begitu besar kasih Bai Fang Li kepada anak-anak yang miskin itu sehingga ia dapat melakukan hal yang sedemikian rupa.

#live4others
@wesnapwecare
=== Kisah Inspiratif ===
(Sediakan waktu 5menit untuk mendalaminya)


Kisah nyata cinta kasih tentang seorang nenek yang ingin memberi makan pada cucunya ini membuat semua terharu dan terus meneteskan air mata.

Di suatu siang hari terlihat seorang nenek berulang kali menekan tombol sebuah rice cooker, tetapi rice cooker itu tetap tidak mau menyala. Lalu nenek ini berjalan tergopoh-gopoh dari dapur ke kamarnya. Di dalam kamar nenek langsung merapikan rambutnya yang sudah memutih dan mengganti baju.

Setelah semua kancing bajunya terkancing, si nenek kembali membukanya lagi. Ternyata kancing bajunya tidak terkancing sesuai urutan, sehingga terkadang sisi baju yang sebelah kiri menjadi lebih tinggi dari yang kanan. Atau kancing yang sebelah kanan melampaui 2 urutan dari yang sebelah kiri. Nenek bahkan harus mengulanginya beberapa kali sampai berkeringat, baru akhirnya semua bisa terkancing rapi sesuai urutannya. Setelah itu nenek berjalan keluar dari kamar.

Saat nenek melintasi ruang tamu, cucu perempuannya yang berumur 16 tahun sedang menonton TV. Terheran melihat neneknya berpakaian rapi, lalu bertanya, “Nenek mau kemana, bukannya tadi nenek sedang masak didapur?” Nenek kemudian menjelaskan kalau ia tadinya memang mau memasak, tapi entah kenapa rice cookernya tidak mau menyala, dan sekarang nenek mau keluar sebentar membeli makanan.

Dengan wajah cemberut, cucunya meminta agar nenek cepat pulang karena ia sudah mulai lapar. “Iya, nenek akan cepat pulang. Kamu tunggu nenek sebentar yah...” Kata neneknya dengan tersenyum, supaya wajah cucunya tidak merengut lagi. Nenek pun berjalan keluar rumah, menunggu bus yang lewat, lalu naik bus ke pusat penjualan makanan.

Beberapa saat setelah nenek keluar rumah, cucunya berjalan ke dapur mencari cemilan untuk sekedar mengganjal perut. Tak sengaja dia melihat steker rice cooker yang belum dicolok. Cucunya pun tersenyum geli melihat sikap pelupa neneknya seperti orang yang sudah pikun saja.

Sesampai di pusat penjualan makanan, nenek membeli nasi ayam kesukaan cucunya. Setelah selesai membayar dan hendak pulang, langkah nenek tiba-tiba terhenti persis di pintu keluar. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan, bola matanya membesar, raut mukanya berubah tampak kebingungan. Semua bangunan dan jalanan yang ada di depannya terlihat berbeda dan asing.

Nenek terdiam membisu sejenak. Dan akhirnya menyadari kalau ia lupa arah jalan pulang ke rumah.

Lantas dengan sigap, nenek melambaikan tangannya sambil berjalan menghampiri seorang pemuda yang melintas di depannya. Meminta bantuan kepada pemuda itu agar mau membawanya pulang. “Nak, Nak, tolong antarkan nenek pulang...” Kata nenek.

“Maaf, Nek. Saya sedang terburu-buru.” Tolak pemuda tadi.

Kemudian nenek menghampiri seorang wanita paruh baya. Sama dengan pemuda tadi, wanita ini juga tidak bisa mengantarkan nenek pulang karena akan menjemput anak-anaknya.

Nenek tidak berhenti. Kali ini dengan gesit ia berjalan ke arah seorang bapak-bapak untuk meminta tolong. “Pak, Pak, tolong antarkan saya pulang. Cucu saya sedang menunggu saya pulang membawa makanan. Dia pasti sudah lapar sekarang.” Kata nenek dengan wajah terlihat sedih.

“Rumah Nenek dimana, yuk saya antar.” Jawab bapak ini.

“Emm... mm... saya.., saya tidak ingat dimana.” Kata nenek dengan terbata-bata. “Tapi tolong antarkan saya pulang, Pak. Pokoknya antarkan saja saya pulang.” Nenek memohon. Bapak ini juga tidak bisa menolong karena nenek sudah pikun dan sama sekali tidak ingat dimana rumahnya. Mata nenek tampak berkaca-kaca, air matanya hampir jatuh membasahi pipi.

Berulang kali nenek terus meminta tolong kepada setiap orang yang ditemuinya untuk diantarkan pulang. Ada yang menolak dan ada juga yang bersedia... tapi siapa pun yang mau menolong tetap saja tidak bisa mengantarkan nenek. Wajah nenek tampak sangat sedih. Tanpa di sadari air mata nenek mengalir di pipinya. Teringat cucunya menahan lapar, sedang menunggunya pulang membawa makanan.

Nenek tetap terus berjalan sambil meminta tolong, dan sesekali mencoba mencari jalan pulang sendiri. Tanpa berhenti untuk beristirahat. Rambut putihnya yang tadinya tersisir rapi dan diikat ke belakang, sekarang mulai berantakan dan tidak karuan.

Kedua tangannya terus mendekap nasi ayam yang dibelinya tadi siang agar tetap hangat. Seluruh wajah dan bajunya telah basah oleh keringat. Langkahnya juga sudah mulai melambat karena kakinya terasa sakit dan kelelahan.

Hingga hari mulai gelap, nenek masih saja terus berjalan, berusaha bisa sampai ke rumah meskipun dari wajahnya terlihat jelas sekali kalau nenek sudah sangat kelelahan...

Pada waktu yang bersamaan, dirumah nenek, sepasang suami istri baru pulang. Mereka adalah orang tua dari cucu nenek. Si ibu melihat anaknya yang sedang ngemil sambil menonton TV. Lalu bertanya, “Kok kamu ngemil, apa nenek belum selesai masak?” Putrinya menjelaskan, kalau nenek tidak jadi masak hari ini dan sudah sejak tadi siang pergi ke pusat penjualan makanan tapi masih belum pulang sampai sekarang.

“Apa! Nenek belum pulang dari tadi siang?!” Kata ayahnya dengan wajah terkejut bercampur khawatir. Belum sempat anaknya berkata apapun, kedua suami istri ini langsung pergi lagi bermaksud mencari nenek ! Anaknya kaget melihat kedua orang tuanya tiba-tiba menjadi panik dan langsung pergi lagi.

Setelah beberapa saat dia baru sadar, kalau nenek bukan pelupa, tapi sudah pikun, dan nenek pasti sedang tersesat sekarang. Segera, dia pun mengikuti kedua orang tuanya pergi mencari nenek.

Ketiganya berkeliling di tengah keramaian kota, berusaha menemukan nenek. Dan kemudian, kedua suami istri ini mendengar bunyi klakson mobil bersahut-sahutan. Keduanya segera berlari ke arah bunyi klakson tersebut.

Sesampainya disana mereka melihat nenek berdiri terbengong di tengah jalan menghalangi laju mobil-mobil. Lalu keduanya menarik tangan nenek dan menuntunnya ke tepi jalan. “Apa yang Ibu lakukan di tengah jalan seperti ini. Ibu membuat kita jadi tontonan semua orang...” Bentak putranya.

“Pak, Pak, tolong antarkan saya pulang, cucu saya sekarang pasti sudah sangat lapar. Kasihan cucu saya, dia belum makan dari siang. Tolong Pak...”

Karena di bentak, nenek semakin linglung dan tidak ingat dengan putra maupun menantunya sendiri. “Bu! Saya ini anakmu sendiri!” Teriak putranya lagi.

Kemudian sang nenek berpaling ke arah menantunya, “Nyonya, tolong antarkan saya pulang, cucu saya sedang menunggu saya pulang bawa makanan.” Nenek memelas sambil menangis.

Mendengar nenek memelas seperti itu ditambah dengan melihat kondisi tubuh nenek yang sedemikian sangat lelahnya. Hati keduanya terasa sangat pilu sekali. Tak kuasa menahan air mata, menantunya menjadi ikut menangis. Menangis dengan teramat sedih. Menyadari betapa besarnya cinta dan kasih sayang nenek kepada cucunya, yang tak lain adalah putri mereka sendiri.

Tiba-tiba... dari kejauhan, sayup-sayup terdengar suara cucunya memanggil, “Nenek, Nenek...” Nenek menoleh ke belakang, mencari asal suara cucunya. Ternyata benar, cucunya berada tidak jauh dari sana.

Dibalik keremangan lampu jalan, cucunya berlari ke arah nenek. Senang melihat cucunya berada disana, nenek pun berjalan ke arah cucunya dengan tertatih-tatih. Walaupun terlihat nenek tersenyum sangat senang, namun masih tampak sangat jelas kecapekan dibalik senyumannya itu.

Cucunya langsung memeluk nenek. “Nenek maafkan saya, Nenek tidak apa-apa?” Kata cucunya dengan meneteskan air mata. “Iya, Nenek tidak apa-apa. Ini nenek sudah belikan nasi ayam kesukaan kamu, ayo makan. Kamu pasti sudah lapar sekali. Kasihan cucu nenek harus kelaparan sampai malam.” Kata nenek sambil membuka bungkus nasi lalu di suapkan ke mulut cucunya. Cucunya terus menangis. “Nenek maafkan saya, maafkan saya, nek.” Cucunya terus berulang-ulang meminta maaf sambil menangis...

“Tolong maafkan nenek yah, kamu jadi harus kelaparan menunggu nenek terlalu lama.” Mendengar nenek berkata demikian, dan melihat kondisi nenek yang begitu kesakitan juga kelelahan. Air mata cucunya semakin deras mengalir. Putra dan menantu nenek yang melihat kejadian ini, juga menitikkan air mata. Lalu keduanya berjalan mendekati nenek dan memeluk nenek dari belakang. “Ibu, kami semua sangat mencintaimu.”

Sahabat yang terkasih,

Kisah ini disampaikan kepada kita untuk membuka hati dan mata kita akan betapa besarnya cinta kasih orang tua dalam mengurus serta membesarkan anak-anaknya. Ketika orang tua kita sudah renta dan tidak lagi mampu mengurus dirinya sendiri, sebagai anak, sudah sepatutnya kita juga mengasihi, merawat dan memperhatikan mereka sama persis dengan yang telah mereka lakukan kepada kita.

Dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa hormat, maukah Anda berbaik hati untuk ikut serta bersama saya dalam meneruskan pesan kisah cinta kasih ini dengan “Tag/Share & Broadcast” kepada semua teman-teman dan anggota keluarga?

Karena dengan kita berbuat demikian serta menganjurkan orang lain turut melakukan suatu maha karya kebajikan untuk lebih peduli kepada orang tua dan akan membawa berkah rahmat terbesar dalam hidup kita di dunia ini.


Think big. Act small everyday. Berpikirlah besar dan bekerja setiap hari. Lakukan, selesaikan dan menangkan hal-hal kecil. Bahkan Bunda Teresa dari Kalkuta yang melayani para fakir miskin dan mereka yang sudah sekarat pernah berkata, “We can only do small things with great love.” Kita hanya bisa lakukan hal-hal kecil dengan kasih yang besar.

Karena setiap hal yang besar sesungguhnya terdiri dari kumpulan hal-hal kecil. Setiap hari kita bekerja dan menyelesaikan satu tugas kecil saja. Lakukan terus setiap hari. Dalam beberapa tahun, maka tugas-tugas kecil akan menumpuk menjadi besar dan banyak.

Misalnya ketika Anda memutuskan untuk menjadi seorang dokter, maka Anda perlu mengambil kuliah kedokteran di universitas. Ini berarti Anda perlu lulus setiap mata kuliah sebelum bisa lulus menjadi seorang Sarjana Kedokteran. Dan agar lulus setiap mata kuliah, Anda perlu belajar setiap hari dan lulus setiap ujian yang diberikan oleh dosen. Setiap helai buku teks perlu Anda baca. Setiap hal kecil dalam perjalanan Anda menjadi seorang dokter merupakan kerja keras setiap hari.

Juga ketika kita melakukan hal-hal kecil dengan kasih yang besar, maka hasilnya juga akan luar biasa. Kasih membuat kita fokus akan tugas yang perlu diselesaikan. Kasih juga membuat hati kita penuh dengan energi positif. Kasih juga membuat kita berpikiran positif.

Kita bisa menjalankan hal-hal besar karena pikiran kita yang berani untuk berpikir “besar.” Segala sesuatu dimulai dari pikiran. Termasuk ketika kita memutuskan untuk bekerja setiap hari, apa-apa saja yang perlu kita kerjakan, dan bagaimana mengerjakannya. Intinya adalah dengan memiliki kasih, maka hal-hal kecil yang dikerjakan dengan baik akan menghasilkan hal-hal besar.

Jangan ragu untuk berpikir besar. Lakukan hal-hal kecil setiap hari. Niscaya kebesaran akan menjadi milik Anda.

Sepasang orang muda yang baru menikah menempati rumah di sebuah komplek perumahan.

Suatu pagi, sewaktu sarapan, si istri melalui jendela kaca. Ia melihat tetangganya sedang menjemur kain. ... "Cuciannya kelihatan kurang bersih ya", kata sang istri. "Sepertinya dia tidak tahu cara mencuci pakaian dengan benar. Mungkin dia perlu sabun cuci yang lebih bagus."

Suaminya menoleh, tetapi hanya diam & tdk memberi komentar apapun.

Sejak hari itu setiap tetangganya menjemur pakaian, selalu saja sang istri memberikan komentar yg sama tentang kurang bersihnya si tetangga mencuci pakaiannya.

Seminggu berlalu, sang istri heran melihat pakaian yg dijemur tetangganya terlihat cemerlang & bersih, dan dia berseru kepada suaminya: "Lihat, sepertinya dia telah belajar bagaimana mencuci dengan benar. Siapa ya kira2 yang sudah mengajarinya? "

Sang suami berkata, "Saya bangun pagi sekali hari ini &membersihkan jendela kaca kita."

...Dan begitulah kehidupan. Apa yang kita lihat pada saat menilai orang lain tergantung kepada kejernihan pikiran (jendela) lewat mana kita memandangnya..

Jika hatimu bersih, maka bersih pula pikiranmu..
Jika pikiranmu bersih, maka bersih pula perkataanmu..
Jika perkataanmu bersih(baik), maka bersih(baik) pula perbuatanmu..

Hati, pikiran & perkataan mencerminkan hidup kita. Jika ingin hidup kita berkembang, maju, dan sukses.. Maka kita hrs menjaga hati, pikiran, dan perkataan kita

HATIMU menentukan PIKIRANMU..
PIKIRANMU menentukan PERKATAANMU..
PERKATAANMU menentukan MASA DEPANMU...

Mungkin Anda tidak banyak tahu tentang kesuksesan Nisin Sunito di luar negeri.
Ya, Nisin Sunito merupakan pengusaha kaya raya dari Indonesia yang sukses di Australia. Di sana, dia memiliki peternakan sapi seluas 331.800 hektar.
Jika dibandingkan, luas peternakan sapi Nisin sama seperti 4,8 kali luas Singapura. Tak heran, jika peternakan orang Kalimantan Tengah ini tergolong paling besar di Australia, seperti yang dilansir di boombastis.com (01/07/19).
.
Tak heran pula Nisin dijuluki sebagai rajanya peternak sapi di Australia. 
Mulanya, Nisin adalah seorang mahasiswa S-1 di University of South Wales (UNSW). Dia mengambil program studi bisnis.
Selepas kuliah, Nisin bekerja sebagai pegawai di kantor pemerintahan Australia. Kesuksesan bisnisnya bermula ketika dia membeli peternakan milik penduduk lokal Australia, di kota Darwin, Australia.
.
Tak hanya di luar negeri, Nisin juga membuka cabang bisnisnya di Indonesia. Cabang bisnisnya ini bergerak dibidang penggemukan sapi. Lokasinya tersebar di beberapa daerah, seperti Banten dan Lampung dengan kapasitas 10.000 hingga 15.000 ekor sapi. 
Di samping itu, Nisin juga memiliki beberapa bisnis lainnya, seperti industri kertas, pengolahan limbah kertas dan kimia hingga properti, seperti yang dilansir di boombastis.com (01/07/19).
.
Sebagai warga Indonesia, sudah seharusnya kita bangga memiliki Nisin Sunito yang hingga saat ini masih 'menancapkan' kesuksesan di negeri orang. .
.
FOLLOW @catatan_info


Pernah ada anak lelaki dengan watak buruk. Ayahnya memberi dia sekantung penuh paku, dan menyuruh memaku satu batang aku di pagar pekarangan setiap kali dia kehilangan kesabarannya atau berselisih paham dengan orang lain.

Hari pertama dia memaku 37 batang di pagar. Pada minggu-minggu berikutnya dia belajar untuk menahan diri, dan jumlah paku yang dipakainya berkurang dari hari ke hari. Dia mendapatkan bahwa lebih gampang menahan diri daripada memaku di pagar. Akhirnya tiba hari ketika dia tidak perlu lagi memaku di pagar,dengan gembira disampaikannya hal itu kepada ayahnya.

Ayahnya kemudian menyuruhnya mencabut sebatang paku dari pagar setiap hari bila dia berhasil menahan diri/bersabar. Hari-hari berlalu dan akhirnya tiba harinya dia bisa menyampaikan kepada ayahnya bahwa semua paku sudah tercabut dari pagar.

Sang ayah membawa anaknya ke pagar dan berkata : Anakku, kamu sudah berlaku baik, tetapi coba lihat betapa banyak lubang yang ada di pagar. Pagar ini tidak akan kembali seperti semula. Kalau kamu berselisih paham atau bertengkar dengan orang lain, hal itu selalu meninggalkan luka seperti pada pagar.

Kau bisa menusukkan pisau di punggung orang dan mencabutnya kembali, tetapi akan meninggalkan luka. Tak peduli berapa kali kau meminta maaf/menyesal, lukanya tinggal. Luka melalui ucapan sama perihnya seperti luka fisik.

Teman adalah perhiasan yang langka. Mereka membuatmu tertawa dan memberimu semangat. Mereka bersedia mendengarkan jika itu kau perlukan, mereka menunjang dan membuka hatimu.

Tunjukkanlah kepada teman- temanmu betapa kau menyukai mereka. Kirim surat ini kepada mereka yang kau anggap teman, walaupun berarti kau mengembalikannya kepada yang mengirimkannya kepadamu.

Bila pesan ini kembali padamu, itu berarti bahwa kau mempunyai lingkaran teman.

Untuk mengakhiri : Keindahan persahabatan adalah bahwa kamu tahu kepada siapa kamu dapat mempercayakan rahasia

Lidah lembut adalah pohon kehidupan, tetapi lidah curang melukai hati.


Ada sebuah suku pada bangsa Indian yang memiliki cara yang unik untuk mendewasakan anak laki-laki dari suku mereka. Jika seorang anak laki-laki tersebut dianggap sudah cukup umur untuk di dewasakan, maka anak laki-laki tersebut akan dibawa pergi oleh seorang pria dewasa yang bukan sanak saudaranya, dengan mata tertutup. Anak laki-laki tersebut dibawa jauh menuju hutan yang paling dalam. Ketika hari sudah menjadi sangat gelap, tutup mata anak tersebut akan dibuka, dan orang yang menghantarnya akan meninggalkannya sendirian. Ia akan dinyatakan lulus dan diterima sebagai pria dewasa dalam suku tersebut jika ia tidak berteriak atau menangis hingga malam berlalu.

Malam begitu pekat, bahkan sang anak itu tidak dapat melihat telapak tangannya sendiri, begitu gelap dan ia begitu ketakutan. Hutan tersebut mengeluarkan suara-suara yang begitu menyeramkan, auman serigala, bunyi dahan bergemerisik, dan ia semakin ketakutan, tetapi ia harus diam, ia tidak boleh berteriak atau menangis, ia harus berusaha agar ia lulus dalam ujian tersebut. Satu detik bagaikan berjam-jam, satu jam bagaikan bertahun-tahun, ia tidak dapat melelapkan matanya sedetikpun, keringat ketakutan mengucur deras dari tubuhnya.

Cahaya pagi mulai tampak sedikit, ia begitu gembira, ia melihat sekelilingnya, dan kemudian ia menjadi begitu kaget, ketika ia mengetahui bahwa ayahnya berdiri tidak jauh di belakang dirinya, dengan posisi siap menembakan anak panah, dengan golok terselip dipinggang, menjagai anaknya sepanjang malam, jikalau ada ular atau binatang buas lainnya, maka ia dengan segera akan melepaskan anak panahnya, sebelum binatang buas itu mendekati anaknya, sambil berdoa agar anaknya tidak berteriak atau menangis.

Sungguh luar biasa cerita diatas. Ketika anak itu ada dalam hutan, sang ayah dengan setia menjagainya. Tuhan yang selalu menjaga kita dimanapun, kapanpun dan apapun masalah/badai hidup yang sedang kita alami, Jangan takut, Tuhan pasti setia!


Dalam berbagai kesempatan, saya selalu menekankan pentingnya berbuat, bekerja, dan bertindak dengan baik, benar, jujur, dan halal. Sebab, bagi saya, inilah sumber kebahagiaan sebenarnya. Yakni, berbuat yang bermanfaat untuk diri sendiri, namun juga memberi keberkahan bagi orang lain. Dengan pola pikir yang semacam ini, apa pun yang kita dapat, apa pun yang kita capai, kita sudah menjadi “pemenang”. Kita sudah menjadi orang yang sukses dan menyukseskan. Sehingga, setiap karya, akan selalu penuh makna. Setiap kerja, akan selalu memberi ketenangan pikiran dan jiwa.

Bisa dibayangkan, jika kita semua mampu berkarya dengan pola pikir dan tindakan semacam itu, betapa harmonis dan indahnya kehidupan. Dan saya pun yakin, hal yang dihasilkan pun tak akan lekang dimakan zaman. Perhatikan karya-karya besar dari berbagai penemu, pekerja seni, hingga tokoh bangsa. Mereka yang bekerja dengan baik, benar, jujur, dan halal, meninggalkan nama harum yang terus dikenang sepanjang masa.

Saya teringat sebuah ungkapan dalam bahasa Jawa: leres, laras, liris, lurus, laris. Secara arti harfiah, ini berarti benar, serasi, penuh perasaan, lurus, dan cepat laku. Dalam berbagai konteks kehidupan, serangkaian kata tersebut adalah “satu kesatuan” yang akan mengantarkan seseorang menjadi manusia seutuhnya.

Leres atau benar akan menjadikan seseorang mampu bertindak dan berbuat berdasarkan etika dan norma yang berlaku. Dengan cara tersebut, ia akan menjadi orang yang disegani dan dihormati, namun sekaligus mampu pula memanusiakan insan lainnya.

Laras atau serasi, akan membuat orang selalu berusaha menemukan titik keseimbangan dalam hidupnya. Ia akan menjadi orang yang menjaga harmonisasi dengan orang lain agar selalu menjadikan hidupnya penuh keberkahan.

Liris atau penuh perasaan akan membuat orang yang menjalaninya selalu memiliki multi sudut pandang. Dalam bersikap dan bertindak, ia akan memiliki empati yang tinggi sekaligus simpati yang membuat hidup diri dan sekelilingnya berjalan dengan penuh kebaikan.

Lurus adalah sikap taat pada apa yang menjadi nilai kebenaran. Jiwa, pikiran, sekaligus tindakan yang lurus akan membuat seseorang menjadi orang yang bermartabat serta dapat menjaga integritasnya.

Laris atau cepat laku adalah nilai “sebab akibat” yang timbul dari perbuatan baik, benar, jujur, dan halal yang dilakukannya. Semakin terpercaya, semakin mampu menjadi insan yang leres, laras, liris, dan lurus, biasanya orang ini akan menjadi “tumpuan” bagi banyak orang. Ia akan selalu diandalkan dalam berbagai segi kehidupan. Sehingga, hidupnya pun—secara otomatis—akan penuh keberkahan.

Inilah nilai-nilai adiluhur yang sudah sepantasnya menjadi “bekal” bagi kita semua untuk meraih kebahagiaan yang “sempurna”. Yakni, kebahagiaan yang bisa dirasakan oleh diri sendiri, dan sekaligus kebahagiaan yang mampu membuat banyak orang turut merasakan kegembiraan di dalamnya.

Pertanyaannya, nilai seperti apakah yang sedang kita junjung dan lihat belakangan ini? Memang, tak ada manusia yang 100% sempurna alias 100% hidupnya tanpa cela. Tapi, sebenarnya, justru dari ketidaksempurnaan tersebut, kalau kita mau terus “berkaca”, kita akan selalu mampu menjadi manusia pembelajar yang dapat membawa perubahan menuju kebaikan. Kalau bukan diri kita sendiri, siapa lagi yang harus memulainya? Mari, daripada mencela berbagai keburukan yang terjadi, lebih baik “menyalakan lilin terang” untuk memperbaiki diri. Sehingga, pelan tapi pasti, harapan perbaikan untuk kehidupan akan menjadi kenyataan. Dan ketika saatnya tiba, kebahagiaan akan jadi milik kita semua.

Gusti mberkahi.


Di sebuah gerbong kereta api yang penuh, seorang pemuda berusia kira-kira 24 tahun melepaskan pandangannya melalui jendela. Ia begitu takjub melihat pemandangan sekitarnya. Dengan girang, ia berteriak dan berkata kepada ayahnya:

”Ayah, coba lihat, pohon-pohon itu… mereka berjalan menyusul kita”.

Sang ayah hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala dengan wajah yang tidak kurang cerianya. Ia begitu bahagia mendengar celoteh putranya itu.

Di samping pemuda itu ada sepasang suami-istri yang mengamati tingkah pemuda yang kekanak-kanakan itu. Mereka berdua merasa sangat risih. Kereta terus berlalu. Tidak lama pemuda itu kembali berteriak:

“Ayah, lihat itu, itu awan kan…? lihat… mereka ikut berjalan bersama kita juga…”.

Ayahnya tersenyum lagi menunjukkan kebahagiaan.

Dua orang suami-istri di samping pemuda itu tidak mampu menahan diri, akhirnya mereka berkata kepada ayah pemuda itu:

“Kenapa anda tidak membawa anak anda ini ke dokter jiwa?”

Sejenak, ayah pemuda itu terdiam. Lalu ia menjawab: “Kami baru saja kembali dari rumah sakit, anakku ini menderita kebutaan semenjak lahir. Tadi ia baru dioperasi, dan hari ini adalah hari pertama dia bisa melihat dunia dengan mata kepalanya”.

Pasangan suami itu pun terdiam seribu bahasa.

Setiap orang mempunyai cerita hidup masing-masing, oleh karena itu jangan memvonis seseorang dengan apa yg anda lihat saja. Barangkali saja bila anda mengetahui kondisi sebenarnya anda akan tercengang. Maka kita PERLU BERPIKIR SEBELUM BICARA…

Semoga kita bisa mengambil suatu berkat dari kisah di atas. Amin.

Hidup akan sangat melelahkan dan mengkhawatirkan jika kita menguras pikiran dan tenaga hanya untuk memperoleh BUNGKUSAN, namun mengabaikan ISI-nya.

Banyak orang yang dalam kehidupan ini terlalu fokus pada BUNGKUSAN sehingga lupa bahwa hidup itu sesungguhnya untuk ISI-nya...

Rumah mewah hanya bungkusan, Rumah tangga itu isinya...

Pesta pernikahan hanya bungkusan, Cinta kasih dan tanggung jawab itu isinya...

Ranjang mewah hanya bungkusan, Tidur nyenyak itu isinya...

Makan enak hanya bungkusan, Gizi dan energi itu isinya...

Kecantikan hanya bungkusan, Kepribadian itu isinya...

Bicara hanya bungkusan, Hasil itu isinya...

Buku hanya bungkusan, Pengetahuan itu isinya...

Jabatan hanya bungkusan, Pengabdian dan pelayanan itu isinya...

Agama itu bungkusan, Melakukan perintah Tuhan itu isinya...

Jadi mulai sekarang, fokuslah pada isinya... Namun jangan lupa untuk merawat bungkusnya juga

Sukses adalah hak semua orang. Tak memandang keturunan, warisan, ataupun modal yang dimiliki. Kuncinya adalah sadar, ingin, dan mau memperjuangkan sepenuh hati.

Ada banyak bukti orang dengan latar belakang tidak mampu pun bisa menjadi orang sukses dan kaya raya. Pepatah from zero to hero layak disandangkan pada sosok-sosok inspiratif yang mampu membalik kehidupan mereka tersebut. Kunci sukses mereka pun sebenarnya sederhana, keyakinan dan kerja keras.

Siapa saja sosok-sosok hebat tersebut dan apa yang bisa kita pelajari dari kisah hidup mereka? Berikut sekelumit kisah orang-orang dari yang tidak punya apa-apa dan bukan siapa-siapa, namun berhasil mengubah kehidupannya jadi menjadi insan luar biasa.

John Paul Dejoria

Kehidupan John Paul Dejoria cukup rumit pada awalnya. Dia dipindahkan dari Italia, Yunani, dan kemudian ke Amerika Serikat. Ia mengaku hidupnya di saat kecil sangat berat. Orangtuanya bercerai saat ia berumur dua tahun. Saat usia sembilan tahun dia dan kakaknya mulai menjual kartu Natal dan koran. Waktu kecil impiannya sangat sederhana, yaitu bisa menghasilkan uang untuk membayar sewa rumah dan membeli mobil bekas.

Selepas SMA, ia bergabung dengan militer Amerika Serikat. Sepulang dari penugasan, John justru jatuh miskin dan kehilangan rumah serta pernikahannya. Ia bercerai dengan istrinya. Lantas, anak laki-laki satu-satunya, tinggal bersama John. Mereka tinggal di mobil dan makan dari hasil menjual botol bekas minuman ringan. John melakukan apa pun agar bisa bertahan hidup. Ia menawarkan jasa perbaikan sepeda, menjual ensiklopedia dari rumah ke rumah, menjual mesin fotokopi hingga menjual polis asuransi.

Peruntungan John berubah setelah ia bergabung dengan Paul Mitchell, seorang rekan lamanya yang sudah lebih dulu terkenal sebagai penata rambut. Saat itulah, ia bertekad untuk mengubah nasibnya dengan memaksimalkan kerja di tempat Paul. Berbekal tekad itu, ia berkreasi menciptakan berbagai hal yang membuat usaha tersebut makin berkembang. Kemudian, ia mengepalai penjualan produk rambut Paul Mitchell. Kekayaan John sendiri mencapai US$ 3,4 juta per 2018 (berdasarkan data Forbes).

Inspirasi dari John Paul Dejoria

“Masa kecilku cukup berat. Di usia sembilan tahun aku dan kakakku mulai berjualan untuk mendapatkan penghasilan. Tapi justru itu yang menguatkanku untuk bisa berubah jadi lebih baik.”

“Dengan mencintai diri sendiri, Anda akan menjadi orang yang bahagia.”

Do Won Chang

Do Won Chang adalah seorang imigran dari Korea Selatan. Saat di Korea, dirinya bekerja di kedai kopi. Ia sendiri pergi ke negeri Paman Sam itu untuk mengubah nasibnya pada usia 18 tahun. Sesampainya di Amerika Serikat, Do melihat fenomena unik. Dia melihat orang-orang yang sukses di Amerika adalah orang-orang yang bekerja di bisnis garmen. Dia pun memutuskan untuk terjun di bisnis pakaian.

Tapi tentu ia tak langsung sukses. Do mengawali perjalanan di Amerika dengan melakukan pekerjaan serabutan agar bisa bertahan hidup. Ia melakukan pekerjaan dari mencuci piring, kerja di pom bensin, dan juga merasakan pekerjaan lama di Korea yaitu bekerja di kedai kopi.

Perlahan dia mengumpulkan modal hingga pada tahun 1984 dia membuka toko pertamanya di Los Angeles. Toko inilah yang kemudian menjadi cikal bakal mengguritanya jaringan Forever 21. Dari bisnis gerai pakaian inilah Do bisa mengumpulkan kekayaan hingga US$ 3,2 miliar per 2018 (Forbes).

Inspirasi Do Won Chang

“Saya melakukan apa pun saat pertama tiba di AS, mulai dari mencuci piring, bekerja paruh waktu di pom bensin hingga bersih-bersih. Lalu saya tertarik dengan fashion dan memutuskan untuk memulai bisnis tersebut. Fokus inilah yang mengubah nasib saya.”

Chairul Tanjung

Dari bukan siapa-siapa, Chairul Tanjung kini menjadi salah satu pengusaha terkaya di Indonesia. Kekayaannya didapat dari berbagai usaha mulai dari Transmart (Carrefour), Bank Mega, Trans Hotel, hingga media televisi TransTV dan Trans7.

Kehidupan Chairul sendiri—seperti diuraikan dari buku biografinya—dimulai dari perjuangan mengatasi kemiskinan di zaman kecil. Untuk kuliah, ibunya harus menjual kain halus miliknya untuk membayar uang masuk Chairul. Dari kondisi itu, ia lalu terpacu agar tak lagi pernah meminta biaya kuliah dari orangtuanya.

Kala itu, ia kemudian berbisnis diktat kuliah stensilan, hingga berjualan alat-alat kesehatan gigi di fakultas kedokteran gigi, tempatnya menimba ilmu. Asyik berbisnis membuat ia makin getol mengembangkan usaha. Dari bisnis sepatu, hingga akhirnya merambah aneka bisnis lainnya. Terakhir, ia sempat dipercaya menjadi Menteri Koordinator Ekonomi era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di akhir masa-masa pemerintahannya.

Inspirasi Chairul Tanjung

“Kunci sukses dalam kompetisi itu satu-satunya cara adalah harus menang. Menang ini bisa menang karena lebih baik kualitas, lebih baik layanan, atau lebih apa pun, yang penting menang dari pesaing!”

“Mengembangkan jaringan itu tak bisa instan, semua ada prosesnya.”








Pernah mengamati petugas valet parking di hotel-hotel atau pusat pertokoan? Mereka dengan keramahannya menjaga betul mobil kita. Apa pun jenis mobil yang kita kendarai, akan dijaga sesuai dengan standar dan prosedur yang telah menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Begitu juga saat mereka mengambilkan kendaraan kita kembali. Senyum ramah mereka sunggingkan, sembari mengucapkan selamat jalan dan semoga selamat sampai tujuan.

Meski bukan mobil milik sendiri, mereka memperlakukan layaknya kendaraan sendiri. Begitu harus “melepas” kendaraan kembali ke pemiliknya, mereka pun tulus memberi ucapan selamat dan mendoakan agar sampai tujuan. Sepele sepertinya. Namun, dari peristiwa sederhana tersebut, bisa jadi pembelajaran bagi kita tentang ketulusan ketika memperoleh sesuatu. Ya, para petugas valet parking itu menerima titipan, menjaganya, dan kemudian mengembalikan tanpa harus “merasa kehilangan”.

Pada tulisan kali ini, saya ingin menggarisbawahi poin soal “merasa kehilangan”. Banyak dari kita yang sering menerima titipan—apalagi berwujud jabatan dalam bisnis dan usahanya—tapi kemudian melekat pada titipan tersebut. Akibatnya, saat harus melepas titipan, terasa berat. Padahal, sedari awal, sudah jelas ,semua ada masanya.

Melalui tulisan ini, saya ingin membuka cakrawala kesadaran, bahwa semua ada masa dan waktunya. Ada sebuah ungkapan bahasa Jawa yang perlu kita renungkan. Bandha titipan, nyawa gadhuhan, pangkat sampiran. Arti harfiahnya adalah harta hanyalah titipan, nyawa adalah gadaian, dan pangkat hanya digantungkan. Tak ada yang abadi yang menempel pada diri kita. Kecuali—bisa jadi—nama baik yang terus akan dikenang.

Ungkapan tersebut sangat dalam maknanya. Sebab, kita diajarkan “sadar kondisi”. Kita diajarkan untuk tidak membiarkan diri tenggelam dalam kemelekatan pada suatu hal yang kita agung-agungkan. Sebab, saat kita sudah terjebak dan lengket pada apa yang kita sebut sebagai jabatan atau kekuasaan,suatu saat pasti akan datang masa di mana kita tak bisa melawan kehendak Sang Maha Pencipta dan Kuasa.

Lalu, apakah kita tak berhak menikmati “titipan” itu? Sebenarnya sah saja. Bahkan, semua itu manusiawi. Bagaimana tidak? Sudah bekerja keras, sudah berjuang maksimal, sudah berusaha mati-matian, tentu “imbalan” yang kita dapat berhak kita nikmati. Dan, berhak pula kita pertahankan. Tapi, jangan sampai semua itu malah lantas membelenggu kita pada kemelekatan. Sebab, jika itu yang terjadi, mungkin kita malah akan terjebak jadi “diperbudak” oleh status kita sendiri. Akibatnya, bukan menikmati, bukannya bahagia, namun malah jadi sengsara, karena terbebani oleh status fana yang ingin kita jaga.

Alangkah baiknya, saat titipan itu masih di tangan kita—apa pun bentuk dan namanya—kita berdayakan pada hal-hal yang membuat manfaatnya bisa dirasakan kepada lebih banyak orang. Jabatan, misalnya. Gunakan untuk membuat berbagai kebijakan yang membawa keberkahan bagi orang banyak. Kekayaan, apalagi. Akan jauh bermakna saat dimaksimalkan untuk membawa kebaikan bagi sekitarnya. Atau, saat nama baik kita sandang. Alangkah indahnya dengan pengaruh yang kita miliki bisa menggerakkan lebih banyak insan untuk membawa berbagai perubahan untuk membangun sekelilingnya.

Intinya, melalui cara-cara yang lebih positif, rasa kepemilikan terhadap titipan yang diberikan akan menjelma jadi “kepemilikan” bersama. Sehingga, saat titipan itu sudah tak lagi melekat pada kita, manfaatnya masih bisa kita rasakan bersama-sama pula.

Mari, sadari semua hal akan berlalu seiring dengan waktu. Tugas kita, sebisa mungkin, memaksimalkan waktu tersebut untuk menjadi manfaat yang berlipat. Bukan hanya untuk diri sendiri, tapi bagi orang lain, sebanyak-banyaknya. Jika itu mampu kita lakukan, semoga kebahagiaan yang akan melekat pada kita.

Salam sukses luar biasa!

(Terbit di harian SINDO, 12 Maret 2018)

Seorang anak kecil sedang belajar mencangkul di sawah milik ayahnya. Tangan-tangan kecilnya memerah karena berusaha mengangkat cangkul yang berat. Melihat anaknya kesusahan, lalu sang ayah memberi cangkul yang kecil kepada ayahnya. Nampaknya sang anak protes dengan pemberian ayahnya.

“Ayah, mengapa aku hanya mendapatkan cangkul yang kecil? Aku ingin cangkul yang besar agar bisa menggarap sawah ini dengan lebih cepat.”

“Pada saatnya nanti kau akan memegang cangkul yang besar, jika sekarang ayah memberimu cangkul yang besar, maka kau akan kelelahan dan tidak bisa bekerja dengan baik. Selain itu tanganmu juga akan kesakitan. Percayalah kepada ayahmu.”

Dari ilustrasi di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa sang ayah mengetahui apa yang terbaik untuk anaknya. Terkadang sang anak ingin bekerja dan mengambil bagian lebih banyak, namun ayahnya mengetahui seberapa besar kemampuan yang dimiliki oleh anaknya.

Tanpa kita sadari, saat ini kita sedang berada di ladangnya Tuhan. Kita sudah mulai belajar “mencangkul”. Jangan serakah dan jangan tergesa-gesa, karena Allah sudah menyediakan “cangkul” yang sesuai dengan kita. Dengan “cangkul” yang kecil pun, kita akan mampu menggarap ladang yang besar. Semua itu hanya ditentukan oleh ketekunan.

Jangan pernah bermimpi untuk mengejar hal besar jika kita tidak bisa mengerjakan hal kecil. Jangan malu dengan pekerjaan yang sedang kita lakukan saat ini karena pada saatnya nanti Tuhan akan mengganti “cangkul kecil” kita dengan “cangkul besar”.

Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkarabesar.

Satu lagi cerita tentang pelajaran hidup, janganlah melihat sebuah persoalan dari satu sisi yang pada akhirnya akan membuat kesimpulan yang terburu-buru.

Dari pinggir kaca nako di antara celah kain gorden, saya melihat anak muda itu mondar-mandir di depan rumah. Matanya berkali-kali melihat ke rumah saya. Tangannya yang dimasukkan ke saku celana, sesekali mengelap keringat di keningnya.

Saya pernah melihat anak muda itu di jembatan penyeberangan, entah seminggu atau dua minggu yang lalu. Saya pulang membeli bumbu kue waktu itu. Tiba-tiba di atas jembatan penyeberangan, saya ada yang menabrak, saya hampir jatuh. Si penabrak yang tidak lain adalah anak muda yang gelisah dan mondar-mandir di depan rumah itu, meminta maaf dan bergegas mendahului saya. Saya jengkel, apalagi begitu sampai di rumah saya tahu dompet yang disimpan di kantong plastik, disatukan dengan bumbu kue, telah raib.

Dada saya berdebar menyaksikannya. Apa maksud anak muda yang bisa jadi umurnya tak jauh dengan anak sulung saya yang baru kelas 2 SMU itu? Melihat tingkah lakunya yang gelisah, tidakkah dia punya maksud buruk dengan keluarga saya? Mau merampok? Bukankah sekarang ini orang merampok tidak lagi mengenal waktu? Siang hari saat orang-orang lalu-lalang pun penodong bisa beraksi, seperti yang banyak diberitakan koran. Atau dia punya masalah dengan Adhi anak saya?

Kenakalan remaja saat ini tidak lagi enteng. Tawuran telah menjadikan puluhan remaja meninggal. Saya berdoa semoga lamunan itu salah semua. Tapi mengingat peristiwa buruk itu bisa saja terjadi, saya mengunci seluruh pintu dan jendela rumah. Di rumah ini, pukul sepuluh pagi seperti ini, saya hanya seorang diri. Kang Dwi, suami saya, ke kantor. Adhi sekolah, Anna yang sekolah sore pergi les Inggris, dan Bi Dian sudah seminggu tidak masuk.

Jadi kalau lelaki yang selalu memperhatikan rumah saya itu menodong, saya bisa apa? Pintu pagar rumah memang terbuka. Siapa saja bisa masuk.

Tapi mengapa anak muda itu tidak juga masuk? Tidakkah dia menunggu sampai tidak ada orang yang memergoki? Saya sedikit lega saat anak muda itu berdiri di samping tiang telepon. Saya punya pikiran lain. Mungkin dia sedang menunggu seseorang, pacarnya, temannya, adiknya, atau siapa saja yang janjian untuk bertemu di tiang telepon itu. Saya memang tidak mesti berburuk sangka seperti tadi. Tapi dizaman ini, dengan peristiwa-peristiwa buruk, tenggang rasa yang semakin menghilang, tidakkah rasa curiga lebih baik daripada lengah?

Saya masih tidak beranjak dari persembunyian, di antara kain gorden, di samping kaca nako. Saya masih was-was karena anak muda itu sesekali masih melihat ke rumah. Apa maksudnya? Ah, bukankah banyak pertanyaan di dunia ini yang tidak ada jawabannya.

Terlintas di pikiran saya untuk menelepon tetangga. Tapi saya takut jadi ramai. Bisa-bisa penduduk se-kompleks mendatangi anak muda itu. Iya kalau anak itu ditanya-tanya secara baik, coba kalau belum apa-apa ada yang memukul.

Tiba-tiba anak muda itu membalikkan badan dan masuk ke halaman rumah. Debaran jantung saya mengencang kembali. Saya memang mengidap penyakit jantung. Tekad saya untuk menelepon tetangga sudah bulat, tapi kaki saya tidak bisa melangkah. Apalagi begitu anak muda itu mendekat, saya ingat, saya pernah melihatnya dan punya pengalaman buruk dengannya. Tapi anak muda itu tidak lama di teras rumah. Dia hanya memasukkan sesuatu ke celah di atas pintu dan bergegas pergi. Saya masih belum bisa mengambil benda itu karena kaki saya masih lemas.

Dan hari ini, anak muda yang gelisah dan si penabrak yang mencopet itu, mengembalikan dompet saya lewat celah di atas pintu. Setelah saya periksa, uang tiga ratus ribu lebih, cincin emas yang selalu saya simpan di dompet bila bepergian, dan surat-surat penting, tidak ada yang berkurang.

Lama saya melihat dompet itu dan melamun. Seperti dalam dongeng. Seorang anak muda yang gelisah, yang siapa pun saya pikir akan mencurigainya, dalam situasi perekonomian yang morat-marit seperti ini, mengembalikan uang yang telah digenggamnya. Bukankah itu ajaib, seperti dalam dongeng. Atau hidup ini memang tak lebih dari sebuah dongengan?

Bersama dompet yang dimasukkan ke kantong plastik hitam itu saya menemukan surat yang dilipat tidak rapi. Saya baca surat yang berhari-hari kemudian tidak lepas dari pikiran dan hati saya itu. Isinya seperti ini:

“Ibu yang baik…, maafkan saya telah mengambil dompet Ibu. Tadinya saya mau mengembalikan dompet Ibu saja, tapi saya tidak punya tempat untuk mengadu, maka saya tulis surat ini, semoga Ibu mau membacanya.

Sudah tiga bulan saya berhenti sekolah. Bapak saya di-PHK dan tidak mampu membayar uang SPP yang berbulan-bulan sudah nunggak, membeli alat-alat sekolah dan memberi ongkos. Karena kemampuan keluarga yang minim itu saya berpikir tidak apa-apa saya sekolah sampai kelas 2 STM saja. Tapi yang membuat saya sakit hati, Bapak kemudian sering mabuk dan judi buntut yang beredar sembunyi-sembunyi itu.

Adik saya yang tiga orang, semuanya keluar sekolah. Emak berjualan goreng-gorengan yang dititipkan di warung-warung. Adik-adik saya membantu mengantarkannya. Saya berjualan koran, membantu-bantu untuk beli beras.

Saya sadar, kalau keadaan seperti ini, saya harus berjuang lebih keras. Saya mau melakukannya. Dari pagi sampai malam saya bekerja. Tidak saja jualan koran, saya juga membantu nyuci piring di warung nasi dan kadang (sambil hiburan) saya ngamen. Tapi uang yang pas-pasan itu (Emak sering gagal belajar menabung dan saya maklum), masih juga diminta Bapak untuk memasang judi kupon gelap. Bilangnya nanti juga diganti kalau angka tebakannya tepat. Selama ini belum pernah tebakan Bapak tepat. Lagi pula Emak yang taat beribadah itu tidak akan mau menerima uang dari hasil judi, saya yakin itu.

Ketika Bapak semakin sering meminta uang kepada Emak, kadang sambil marah-marah dan memukul, saya tidak kuat untuk diam. Saya mengusir Bapak. Dan begitu Bapak memukul, saya membalasnya sampai Bapak terjatuh-jatuh. Emak memarahi saya sebagai anak laknat. Saya sakit hati. Saya bingung. Mesti bagaimana saya?

Saat Emak sakit dan Bapak semakin menjadi dengan judi buntutnya, sakit hati saya semakin menggumpal, tapi saya tidak tahu sakit hati oleh siapa. Hanya untuk membawa Emak ke dokter saja saya tidak sanggup. Bapak yang semakin sering tidur entah di mana, tidak perduli. Hampir saya memukulnya lagi.

Di jalan, saat saya jualan koran, saya sering merasa punya dendam yang besar tapi tidak tahu dendam oleh siapa dan karena apa. Emak tidak bisa ke dokter. Tapi orang lain bisa dengan mobil mewah melenggang begitu saja di depan saya, sesekali bertelepon dengan handphone. Dan di seberang stopan itu, di warung jajan bertingkat, orang-orang mengeluarkan ratusan ribu untuk sekali makan.

Maka tekad saya, Emak harus ke dokter. Karena dari jualan koran tidak cukup, saya merencanakan untuk mencopet. Berhari-hari saya mengikuti bus kota, tapi saya tidak pernah berani menggerayangi saku orang. Keringat dingin malah membasahi baju. Saya gagal jadi pencopet.

Dan begitu saya melihat orang-orang belanja di toko, saya melihat Ibu memasukkan dompet ke kantong plastik. Maka saya ikuti Ibu. Di atas jembatan penyeberangan, saya pura-pura menabrak Ibu dan cepat mengambil dompet. Saya gembira ketika mendapatkan uang 300 ribu lebih.

Saya segera mendatangi Emak dan mengajaknya ke dokter. Tapi Ibu…, Emak malah menatap saya tajam. Dia menanyakan, dari mana saya dapat uang. Saya sebenarnya ingin mengatakan bahwa itu tabungan saya, atau meminjam dari teman. Tapi saya tidak bisa berbohong. Saya mengatakan sejujurnya, Emak mengalihkan pandangannya begitu saya selesai bercerita.

Di pipi keriputnya mengalir butir-butir air. Emak menangis. Ibu…, tidak pernah saya merasakan kebingungan seperti ini. Saya ingin berteriak. Sekeras-kerasnya. Sepuas-puasnya. Dengan uang 300 ribu lebih sebenarnya saya bisa makan-makan, mabuk, hura-hura. Tidak apa saya jadi pencuri. Tidak perduli dengan Ibu, dengan orang-orang yang kehilangan. Karena orang-orang pun tidak perduli kepada saya. Tapi saya tidak bisa melakukannya. Saya harus mengembalikan dompet Ibu. Maaf.”

Surat tanpa tanda tangan itu berulang kali saya baca. Berhari-hari saya mencari-cari anak muda yang bingung dan gelisah itu. Di setiap stopan tempat puluhan anak-anak berdagang dan mengamen. Dalam bus-bus kota. Di taman-taman. Tapi anak muda itu tidak pernah kelihatan lagi. Siapapun yang berada di stopan, tidak mengenal anak muda itu ketika saya menanyakannya.

Lelah mencari, di bawah pohon rindang, saya membaca dan membaca lagi surat dari pencopet itu. Surat sederhana itu membuat saya tidak tenang. Ada sesuatu yang mempengaruhi pikiran dan perasaan saya. Saya tidak lagi silau dengan segala kemewahan. Ketika Kang Dwi membawa hadiah-hadiah istimewa sepulang kunjungannya ke luar kota, saya tidak segembira biasanya.Saya malah mengusulkan oleh-oleh yang biasa saja.

Kang Dwi dan kedua anak saya mungkin aneh dengan sikap saya akhir-akhir ini. Tapi mau bagaimana, hati saya tidak bisa lagi menikmati kemewahan. Tidak ada lagi keinginan saya untuk makan di tempat-tempat yang harganya ratusan ribu sekali makan, baju-baju merk terkenal seharga jutaan, dan sebagainya.

Saya menolaknya meski Kang Dwi bilang tidak apa sekali-sekali. Saat saya ulang tahun, Kang Dwi menawarkan untuk merayakan di mana saja. Tapi saya ingin memasak di rumah, membuat makanan, dengan tangan saya sendiri. Dan siangnya, dengan dibantu Bibi Dian, lebih seratus bungkus nasi saya bikin. Diantar Kang Dwi dan kedua anak saya, nasi-nasi bungkus dibagikan kepada para pengemis, para pedagang asongan dan pengamen yang banyak di setiap stopan.

Di stopan terakhir yang kami kunjungi, saya mengajak Kang Dwi dan kedua anak saya untuk makan bersama. Diam-diam air mata mengalir di mata saya. Anna menghampiri saya dan bilang, “Mama, saya bangga jadi anak Mama.” Dan saya ingin menjadi Mama bagi ribuan anak-anak lainnya.

Dikisahkan, ada seorang pemuda berusia menjelang 30 tahun, tetapi memiliki kemampuan berpikir layaknya anak berusia di bawah 10 tahun sederhana dan apa adanya. Ibunya dengan penuh kasih memelihara dan mendidik anaknya agar kelak bisa hidup mandiri dengan baik.

Suatu hari, si anak yang sangat mencintai ibunya, berkata, "Ibu, aku sangat senang melihat ibu tertawa. Wajah ibu begitu cantik dan bersinar. Bagaimana caranya agar aku bisa membuat ibu tertawa setiap hari?"

"Anakku, berbuatlah baik setiap hari. Maka, ibu akan tertawa setiap hari," ujar sang ibu.

"Bagaimana caranya berbuat baik dan bagaimana harus setiap hari?" tanya si anak.

"Berbuat baik adalah bila kamu bekerja, bekerjalah dengan sungguh-sungguh. Bantulah orang lain terutama orang-orang tua yang perlu dibantu, sakit, atau kesepian. Kamu bisa sekadar menemaninya atau membantu meringankan pekerjaan mereka. Perlakukanlah orang-orang tua itu sama seperti kamu membantu ibumu. Pesan ibu, jangan menerima upah. Setelah selesai membantu, mintalah sobekan tanggalan dan kumpulkan sesuai urutan angkanya. Kalau angkanya urut artinya kamu sudah berbuat baik setiap hari. Dengan begitu ibu pun setiap hari pasti akan senang dan tertawa," jawab sang ibu sambil membelai sayang anak semata wayangnya itu.

Beberapa waktu berlalu dan ibu dari si anak meninggal. Namun karena kenangan dan keinginannya melihat ibunya tertawa, setiap hari sepulang kerja, dia berkeliling kampung  membantu orang-orang tua. Kadang memijat, menimba air, memasakkan obat, atau sekadar menemani dengan senang dan ikhlas. Bila ditanya orang kenapa hanya sobekan tanggalan yang diterimanya setiap hari? Dia pun menjawab, "Karena setiap hari, setibanya di rumah, sobekan tanggalan yang aku kumpulkan, aku susun sesuai dengan nomor urutnya. Maka setiap hari aku seakan bisa mendengar ibuku sedang melihat aku dan tertawa bahagia di atas sana."

Si pemuda yang berpikiran sederhana itu  pun telah menjadi sahabat banyak orang di desa. Sehingga suatu ketika, atas usul dari seluruh warga, karena kebaikan hatinya, dia dianugerahi oleh pemerintah bintang kehormatan dan dana pensiun selama hidup untuk menjamin tekadnya, yakni setiap hari bisa membantu orang lain.