Ada seorang tukang sepatu miskin yang tinggal disebuah kota kecil, tukang sepatu ini orang yang rajin, periang dan selalu bernyanyi sepanjang hari untuk meluapkan sukacitanya. Hingga anak-anak kecil sering bermain ke rumahnya untuk bermain dan belajar bernyanyi.
Di sebelah rumahnya tinggal seorang yang sangat kaya, sepanjang hari pekerjaannya menghitung uang. Orang kaya ini merasa terganggu dengan suara nyanyian dan anak-anak yang bermain.
Suatu hari orang kaya ini mempunyai ide untuk memberikan hadiah pada tukang sepatu. Datanglah orang kaya itu ke rumah tukang sepatu dan memberikan uang emas satu karung.
Tukang sepatu sangat girang dan senang sekali karena selama hidup baru kali ini dia melihat uang emas sebanyak itu. Kemudian si tukang sepatu selalu berada di kamarnya menghitung uangnya dengan sangat hati-hati dan dia sangat khawatir jika uangnya diambil pencuri.
Lalu uang itu disimpan di lemari, tapi dia khawatir kalau uangnya diambil anak-anak. Anak-anak mulai tidak pernah main ke rumahnya, dengan gelisah tukang sepatu ini menggali lubang di belakang rumahnya dan uang tersebut dikubur di sana.
Pada malam hari tukang sepatu tidak bisa tidur karena gelisah dan khawatir kalau uangnya hilang. Malam itu dia menggali uangnya dan disimpan dibawah ranjangnya.
Malam itu tukang sepatu merasa kesepian, anak-anak tidak pernah lagi bermain ke rumahnya, dia sekarang tidak pernah membuat sepatu. Rumahnya selalu tertutup, dia merasa sendiri dan sedih. Memang dia memiliki uang banyak sekarang namun sukacitanya hilang karena hidupnya penuh ketakutan dan kekhawatiran.
Keesokan harinya tukang sepatu memutuskan untuk mengembalikan uang hadiah itu. Setelah uang itu dikembalikan dia merasa lega dan sukacitanya kembali lagi. Dia mulai bernyanyi, anak-anak kembali bermain ke rumahnya dan mulai membuat sepatu lagi.
Tukang sepatu itu tidak hanya sekedar mencari sesuatu yang kelihatan, dia lebih mengutamakan sesuatu yang tidak dilihat oleh mata. Dia tidak mau kehilangan sukacitanya dan lebih rela melepaskan uang hadiahnya.
Janganlah kita hanya mengejar sesuatu yang kelihatan, karena sesuatu yang kelihatan hanya bersifat sementara.
Hidup dekat melekat pada Tuhan adalah sesuatu yang sifatnya kekal, karena di sanalah tersimpan harta yang tidak kelihatan.


Ada ungkapan, hidup laksana sebuah roda. Artinya, selalu berputar, kadang di atas, kadang di bawah. Yang jadi masalah adalah, bagaimana kalau saat berada di bawah kelamaan? Apa tidak jadi beban yang berkepanjangan? Di sinilah sebenarnya kekuatan seseorang diuji. Sebab, saat di bawah itulah, pilihan paling memungkinkan hanyalah berputar naik. Artinya, saat berada di level paling bawah, sebenarnya kita sedang “mengumpulkan energi” untuk naik ke atas.
Coba lihat seekor burung yang hendak terbang. Dalam sebuah tayangan di sebuah stasiun televisi, saya melihat bagaimana gerak—yang diperlambat sepersekian ribu detik—burung yang hendak terbang naik ke atas. Bagi sebagian besar orang pasti akan mengatakan, sayapnyalah yang membuat ia naik ke atas. Tak salah. Tapi, jika diperhatikan lebih detail, yang membuat burung bisa bertolak naik terbang adalah pijakannya. Kalau pijakannya tidak kokoh, burung terbangnya cenderung lebih sulit. Misalnya, kalau dahannya meliuk ke bawah, saat ditekan kaki burung yang hendak terbang, ia awalnya seperti hendak jatuh. Beda kalau yang dipijak adalah bagian yang keras atau tidak lentur, burung dengan mudah terbang ke atas.
Gambaran tersebut adalah sebuah analogi betapa penting masa-masa di bawah. Betapa pentingnya “injakan”—yakni masa-masa sulit—untuk menjadi titik tolak kita bisa “terbang” atau berputar ke atas. Di sinilah sebuah sudut pandang—atau mindset—menjadi penentu bagaimana seseorang akan bersikap. Kalau sadar “roda” akan terus berputar, maka dengan ikhlas ia akan menerima kondisi keterpurukan sebagai masa pembelajaran.
Pun demikian sebuah perputaran kehidupan. Yang namanya berputar, pasti akan mengalami masa kembali ke titik awal untuk kemudian menuju titik berikutnya. Di sinilah “seni”-nya sebuah perputaran. Ini juga mengapa saya mencuplik ungkapan Mark Twain, seorang pengarang dan sastrawan yang sangat ternama. Ia menyebut sejarah tak akan berulang, tapi ia akan membentuk pola—layaknya sebuah irama puisi (history does not repeat, but it rhymes).
Jika ditilik ke belakang, dan kemudian kita lihat sejenak apa yang sudah dan sedang terjadi, pernahkah kita mengalami satu momen yang—kita merasa—mirip dengan sebuah kejadian. Kadang, kita menyebutnya dengan dejavu—merasa mengulangi sebuah kejadian tertentu yang mirip dengan kejadian di masa lalu. Mungkin sebagaian besar dari kita pernah mengalami kejadian-kejadian yang mirip. Di sinilah salah satu bagian penting dari “seni” perputaran.
Tanpa sadar, sebenarnya kita—barangkali—sedang berputar dalam sebuah roda kehidupan yang mengantar kita pada satu peristiwa ke peristiwa lain—yang memiliki kemiripan. Atau, kalau pun tidak mirip, setidaknya kita pasti pernah berkaca dari pengalaman orang lain yang kemudian jadi referensi untuk melakukan sesuatu, karena merasa kejadian yang dialami mirip dengan yang kita alami saat ini.
Inilah pentingnya kita memahami “seni” perputaran kehidupan. Jika kita bisa “menandai” berbagai peristiwa di masa lampau dengan aneka pembelajaran, di masa kini dan masa depan, kita akan bisa melakukan berbagai antisipasi saat terjadi peristiwa tertentu. Konon, John Naisbitt dengan Megatrends 2000-nya, sebenarnya juga “meramalkan” masa depan dengan berkaca dari pengalaman di masa lalu. Dari buku yang cukup menghebohkan dunia itulah, Naisbitt berhasil menjadikan “perputaran zaman” sebagai pembelajaran untuk meraih keberhasilan.
Maka, seperti yang diungkap Mark Twain, jika kita bisa “merasakan” perputaran kembali pada sebuah titik, kita akan bisa merasakan irama “sajak” yang bisa membimbing kita untuk jadi manusia yang selalu lebih baik dari sebelumnya. Sehingga, mereka yang bisa mengambil pelajaran di masa lalu dan menjadikannya sebagai bekal menghadapi masa depan, akan memiliki kekuatan untuk meraih yang didambakan.
Itulah mengapa, di mana dan kapan pun titik kita berada saat ini, jika dirasa berat, jangan pernah putus asa. Kalau kita berada di titik yang terasa penuh kebaikan dan prestasi luar biasa, jangan pula merasa sombong, karena itu pun tak akan bertahan selamanya.
Mari, sadari dan nikmati perputaran kehidupan yang kita alami. Jadikan setiap momen sebagai momen berharga untuk terus belajar, sehingga kita akan menjadi manusia yang lebih baik, lebih bijak, dan lebih fleksibel dalam menghadapi berbagai keadaan.


Orang benar, tidak akan berpikiran bahwa ia adalah yang paling benar. Sebaliknya orang yang merasa benar, di dalam pikirannya hanya dirinya yang paling benar.
Orang benar, bisa menyadari kesalahannya. Sedangkan orang yang merasa benar, merasa tidak perlu untuk mengaku salah.
Orang benar, setiap saat akan introspeksi diri dan bersikap rendah hati. Tetapi orang yang merasa benar, merasa tidak perlu berintrospeksi. Karena merasa sudah benar, mereka cenderung tinggi hati.
Orang benar memiliki kelembutan hati. Ia dapat menerima masukan/kritikan dari siapa saja. Bahkan dari anak kecil sekalipun. Orang yang merasa benar, hatinya keras. Ia sulit untuk menerima nasihat,masukan apalagi kritikan.
Orang benar akan selalu menjaga perkataan dan perilakunya, serta berucap penuh kehati-hatian. Orang yang merasa benar, berpikir, berkata dan berbuat sekehendak hatinya tanpa mempertimbangkan dan mempedulikan perasaan orang lain.
Pada akhirnya...
Orang benar akan dihormati, dicintai dan disegani oleh hampir semua orang. Namun orang yang merasa benar sendiri hanya akan disanjung oleh orang-orang yang berpikir sempit, yang sepemikiran dengannya, atau orang-orang yang sekadar ingin memanfaatkan dirinya.
Kita ini, termasuk tipe yang manakah? Apakah kita tipe "orang benar" atau "orang yang merasa benar" ? Mari bersama evaluasi diri. Bila kita sudah termasuk tipe "orang benar", bertahanlah dan tetap rendah hati. Luar biasa..!!


Beberapa kemampuan ini perlahan namun pasti tergerus oleh kecanggihan teknologi:
- Kemampuan mengingat nomor telepon
Dahulu, kita bisa hafal beberapa nomor telepon karena khawatir lupa bawa buku telepon dan ada kebutuhan telepon dengan menggunakan telepon umum. Saat ini, gadget bisa menyimpan nomor telepon dengan mudah dan dalam jumlah yang banyak. Anda sendiri hafal berapa nomor telepon keluarga/sahabat?
- Navigasi
Zaman dulu, untuk mengunjungi suatu tempat, seseorang harus memiliki kemampuan navigasi yang baik, minimal tahu dimana utara, selatan, barat dan timur. Sekarang tinggal buka kompas aja di smartphone. Atau buka aplikasi maps yang hampir ada di setiap gadget.
- Kemampuan komunikasi dengan orang baru
Anda sedang ada di tempat umum dengan orang-orang yang baru Anda kenal? Tinggal ambil gadget dan Anda bisa menyibukkan diri sendiri beberapa saat lamanya. Sebelum gadget menjadi benda yang normal dimiliki setiap orang, biasanya orang-orang akan saling berbincang dengan sekitar tanpa canggung.
- Pemahaman ilmu dasar
Hal berikutnya yang terjadi di masyarakat adalah ketergantungan terhadap mesin pencari (search engine), sehingga ilmu-ilmu dasar yang harusnya diketahui menjadi dilupakan. Apabila menemui kesulitan, misal ingin tahu nama ibukota atau mengecek kalimat baku, kita tinggal “googling”.
- Menulis dengan tangan
Ingat saat di bangku sekolah dulu? Kemana-mana kita membawa agenda atau buku catatan kegiatan. Sekarang tinggal catat saja di smartphone Anda.
- Ilmu hitung sederhana
Karena kecanggihan teknologi, saat ini perhitungan sederhana saja kita harus diyakinkan dengan kalkulator biar yakin. Tak bisa dipungkiri, ini adalah fenomena yang tanpa kita sadari hadir di kehidupan masyarakat saat ini.
- Fotografi
Fotografi dulunya menjadi hal yang cukup sulit untuk dipelajari dan harus membutuhkan proses belajar yang sangat lama. Sekarang keberadaan kamera gadget dengan kualitas yang bagus—bahkan beberapa melebihi kualitas kamera manual—membuat kemampuan teknis fotografi menjadi berkurang. Tidak perlu trial and error, atau ribet dengan teknik. Tinggal jepret sepuas hati, edit, dan bagikan kepada banyak orang di social media.
Apakah 7 hal di atas juga kita rasakan? Atau Anda ingin menambahkan beberapa poin?


Tak ada keraguan jika menyebut Candra Wijaya sebagai salah satu legenda bulutangkis Indonesia. Dari deretan prestasinya tergambar betapa ia menyumbang banyak gelar bagi tim Indonesia dan catatan prestasi pribadinya.
Sebagai pemain ganda Candra Wijaya, pernah berpasangan dengan sejumlah pemain ganda top. Di antara pasangannya adalah Tony Gunawan, Sigit Budiarto, Nova Widianto, Ade Sutrisna hingga di ganda campuran bersama Eliza Nathanael dan Jo Novita.
Tengok pula prestasinya. Tahun 1997 di SEA Games ia memboyong dua medali emas dari ganda putra berpasangan dengan Sigit Budiarto dan ganda campuran berpasangan dengan Eliza Nathanael. Setelah itu berbagai gelar juara diraih dari berbagai kejuaraan internasional, termasuk Asian Games 1998 di Bangkok.
Candra juga memenangkan kejuaraan utama dunia. Ia juara dunia ketika berpasangan dengan Sigit Budiarto pada tahun 1997. Juara All England pada tahun 1999 (berpasangan dengan Tony Gunawan) dan tahun 2003 (berpasangan dengan Sigit Budiarto). Meraih Thomas Cup tahun 1998, 2000, 2002. Dan yang paling dikenang adalah memenangkan medali emas Olimpiade Sydney 2000—satu-satunya medali emas untuk Indonesia!
“Harus selalu optimis. (Apalagi) karena kita yang sudah sering juara, (harus) memiliki mental juara, pantang untuk bicara tidak mungkin, tidak mampu. Buat saya sendiri pantang untuk kalah duluan,” paparnya dalam sebuah wawancara, mengenai rahasia prestasi emasnya.
Keluarga bulutangkis
Candra Wijaya adalah pebulutangkis kelahiran Cirebon, 16 September 1975. Keluarganya, "keluarga bulutangkis". Ayahnya, Hendra Wijaya, adalah mantan atlet bulutangkis yang memiliki klub bulutangkis Rajawali di Cirebon. Kakaknya, Indra Wijaya, pemain bulutangkis yang pernah memperkuat Tim Piala Thomas Indonesia 1996 dan 1998. Adiknya, Rendra Wijaya dan Sandrawati Wijaya, juga pemain bulutangkis.
Candra sendiri mulai bermain bulutangkis sejak usia 12 tahun di klub bulutangkis milik ayahnya. Ia kemudian pindah ke Jakarta untuk bergabung dengan klub Pelita Bakrie. Setelah itu pindah ke klub Jaya Raya.
Setelah malang-melintang sebagai atlet bulutangkis selama 15 tahun, ia memutuskan gantung raket pada tahun 2006. Tetapi tak sepenuhnya karena setelah itu ia masih berkecimpung di dunia bulutangkis. Ia mendirikan Candra Wijaya International Badminton Centre (CWIBC) pada 23 Januari 2010, wadah kepelatihan dan pembinaan atlet berbakat mulai dari usia dini hingga tingkat lanjut untuk menuju prestasi dunia dengan fasilitas standar internasional. Selainitu, Candra juga mengelola sejumlah bisnis.



Alkisah, suatu hari, seorang pemuda datang menghadap, minta dicarikan pekerjaan. Dan terjadilah percakapan sebagai berikut..
"Oke saya coba bantu, apa pekerjaan yang Anda inginkan?"
"Apa saja deh Pak, yang penting kerja.."
"Kalau begitu, mungkin saya bisa minta kolega saya untuk interview kamu, buat jadi sales di tempat kerjanya."
"Waduh, kalau bisa jangan yang suruh jualan, saya enggak terlalu suka jualan."
"Oh begitu yah. Hmm oke sebentar, saya coba telepon teman saya di Jakarta." Setelah menghubungi teman saya, saya pun memberitahu yang bersangkutan.
"Kata teman saya, saat ini dia sedang perlu admin untuk input penjualan."
"Wahhh Pak, saya enggak bisa komputer."
Saya mencoba mencari solusi untuk pemuda ini.
"Oke, kenapa kamu tidak coba bisnis saja?"
"Wah, itu butuh modal Pak.. Saya enggak punya modal."
"Kalau misalnya saya ada teman yang bisa membantu kamu bisnis dengan modal kecil atau tanpa modal, bagaimana..?"
Pemuda itu sontak menjawab, "Itu pasti bisnis multi level yah..? Hmmm kalau itu nggak dulu deh Pak, kurang suka MLM saya."
Saya belum selesai menjelaskan, namun rasanya mendadak kehilangan kesabaran untuk membantu orang ini.
Banyak orang susah bukan karena tidak ada KESEMPATAN, namun masalahnya ada pada SIKAPNYA. Motivator Andrie Wongso selalu bicara tentang miskin mental yang merupakan sumber Kemiskinan yang sejati.
Saya pun teringat pesan Jack Ma sang pendiri perusahaan e-commerce Alibaba: di dunia ini orang yang paling sulit dilayani adalah orang BERMENTAL MISKIN.
Dikasih gratis: "Saya mau diperalat apa nih?"
Dikasih murah: "Ini pasti barang jelek!"
Dikasih yang bagus: "Ini pasti mahal!"
Dikasih yang modern, "Saya tidak berpengalaman.."
Dikasih yang mudah, "Ah itu cara tradisional!"
Hilangkan miskin mental, ganti dengan kaya mental!!!
Siap berjuang. Hidup baru bisa bernilai.
(dari sumber internet)