Mah, Pah.. JANGAN Menyuruh Anak Anda Menjadi JUARA KELAS. Alasannya Sungguh Tak Terduga
JANGAN MENYURUH ANAK ANDA MENJADI JUARA KELAS
(Because everybody has different passion)
Keluarga kami menghabiskan liburan akhir tahun di Danau Toba, sambil memperkenalkan indahnya tanah air kepada anak anak kami.
Di sana kami berjalan-jalan beraama seorang sahabat kami, sebut saja namanya Dokter Jonathan (kami memanggilnya Jo), seorang dokter yang berdomisili di Medan dan memiliki sebuah Rumah Sakit di sana.
Kebetulan saya mengenalnya sejak 30 tahun yang lalu, dan saya mengaguminya karena idealismenya. Jo seringkali mengoperasi anak-anak dengan cacat bawaan sejak lahir.
Sudah tak terhitung berapa anak yang sudah terselamatkan oleh tangan-tangan terampilnya. Yang lebih mengagumkan lagi, Jo tidak hanya mempunyai prestasi hebat bagi dirinya sendiri. Istrinya (yang juga seorang dokter) pernah menjadi Dokter Teladan Nasional. Anak-anaknya semuanya mengikuti program akselerasi.
Anak pertamanya, sudah lulus SMA pada usia 15 tahun dan menjadi Dokter Umum pada usia 21 tahun.
Anak keduanya sudah lulus dari ITB Teknik Informatika pada usia 19 tahun dan sebentar lagi akan berangkat ke Jepang untuk bekerja di sebuah perusahaan IT ternama di sana. Anak ketiganya juga sebentar lagi akan lulus SMA pada usia 15 tahun dan akan segera memulai kuliahnya.
Saya pun terkagum-kagum dengan prestasi mereka sekeluarga. Dan saya pun bertanya, apa sih rahasia kesuksesan mereka?
Pagi itu Jo menyetir sendiri Alphardnya mengantarkan kami dari Berastagi ke Taman Simalem Resort untuk melihat Danau Toba dari kejauhan.
Jo memulai ceritanya,”Anak saya mungkin bukan yang paling cerdas. Dan kemudian kuncinya adalah, saya tidak pernah menyuruh mereka menjadi juara kelas. Saya bilang kepada mereka bahwa ada beberapa mata pelajaran yang saya memperbolehkan mereka untuk hanya mendapatkan angka 6. Tetapi mata pelajaran yang menjadi passion mereka dan akan penting bagi mereka, mereka harus berusaha sekeras-kerasnya dan mencapai nilai yang maximum!”
Maksudnya?
Jo pun meneruskan … Kita sudah banyak mendengarkan cerita bahwa banyak sekali teman teman kita dulu yang rangking 1 ternyata setelah bekerja tidak berprestasi. Bahkan teman-teman yang berprestasi di rangking menengah justru berprestasi bagus di pekerjaannya.
Mengapa demikian?
Seorang juara kelas adalah seorang yang mempunyai nilai baik di semua mata pelajaran. Memang itu baik pada saat kita masih sekolah atau kuliah.
Tetapi di tempat pekerjaan, pernahkah anda melihat seorang executive yang hebat di kariernya, menjadi juara olahraga, juara lomba seni dan menjadi yang terbaik dalam ilmu agamanya? Menjadi yang terbaik dalam empat hal sekaligus atau mungkin malah lebih dari empat hal? Gak ada , atu gak mungkin kan?
(Tonton video dibawah agar Bunda tahu Cara Menjadikan Anak Cerdas Sejak Dini dari Pakar Pendidikan Anak Usia Dini..)
Paling menjadi yang baik dalam hal dua hal saja, tidak tiga atau empat hal. Apa artinya? Artinya kalau kita menyuruh anak kita menjadi juara kelas, kita akan menyuruh anak anak kita untuk mencapai nilai yang baik dalam semua mata pelajaran.
Berarti mereka gak akan menjadi yang terbaik dalam bidang apapun dalam pekerjaan mereka nantinya, mereka hanya bisa menjadi Mister Average (rata-rata) dalam banyak hal.
Ingat bisnis dan karier anda tidak akan pernah menghargai orang yang berprestasi rata-rata. Mereka hanya menghargai yang berprestasi terbaik.
Jadilah yang terbaik, dalam satu bidang saja, tapi tekuni dan bekerja keraslah, niscaya anda akan sukses kelak nantinya!
Jadi Jo hanya menyuruh anak-anaknya fokus pada pelajaran yang mereka sukai, di mana mereka mempunyai passion.
Jo tidak menuntut mereka menjadi juara kelas. Jo bahkan tidak menyuruh mereka ikut program akselerasi,
mereka ikut atas inisiatif sendiri. Jadi anak-anaknya Jo memang mendapatkan nilai hanya 6 atau 7 di beberapa mata pelajaran, tetapi di pelajaran yang mereka sukai mereka mendapatkan nilai maximal.
Kebetulan anak pertama menyukai matematika dan biologi, maka dia memilih untuk masuk Kedokteran pada usia 15. Anak kedua menyukai matematika dan fisika , dan akhirnya masuk Teknik Informatika ITB, juga di usia 15.
Saya membayangkan betapa “ramainya” raport mereka yang ada enamnya, ada tujuh, ada delapan , ada sembilan.
Sementara orang tua yang lain menuntut anaknya mendapatkan nilai maximal di semua bidang.
But may be Jo is right, look at where he is now, and where his children are now…
Saya yakin kita bisa belajar dari cara Jo mendidik anak-anaknya. Pada saat mereka dibebani kurikulum yang berat, dengan jumlah mata pelajaran yang banyak banget (seriously for what?)
Mungkin sebaiknya kita tidak menuntut mereka berprestasi maximal di segala bidang. Ingat anda tidak ingin mencetak generalist, anda tidak ingin mencetak Mr Average.
Ingat anda ingin mencetak mereka menjadi yang terbaik. Dan anda tidak bisa mengharapkan mereka menjadi yang terbaik dalam segala bidang (kasihan banget!)
Ingat kan, tidak ada Direktur Utama yang juara olahraga, juara seni dan sekaligus terbaik dalam hal agama.
Pasti mereka menjadi yang terbaik dalam satu atau dua bidang saja kan?
sumber: momonganak
0 komentar:
Post a Comment