Alkisah di sebuah negeri, ada dua orang pemuda yang sedang mengikuti perlombaan memanah. Sang pemenang akan diangkat menjadi panglima kerajaan. Syaratnya, dengan hanya tiga buah anak panah, mereka diharuskan berhasil memanah kijang di hutan. Siapa yang berhasil mencapai target lebih awal, dialah yang akan diangkat menjadi panglima.
Maka, hari itu juga, kedua pemuda itu pun berangkat ke tepi hutan. Namun rupanya, cuaca kurang bersahabat. Saat itu kabut tebal menyelimuti hutan. Kedua pemuda itu menemui kendala yang tidak mereka duga.
Pemuda pertama, setelah menimbang-nimbang, memilih untuk menunggu kabut menghilang. Ia berpikir, cuaca semacam itu pasti akan segera berlalu. Maka, ia memilih untuk mendirikan tenda sementara di tepi hutan, sembari tetap waspada, siapa tahu ada kijang yang tersesat ke tepi hutan. Pemuda ini memilih menunggu datangnya waktu terbaik.
Pemuda kedua berpikiran lain. Justru dengan kabut yang tebal, ia berpikir pastilah kijang-kijang tak bakal menduga bakal datangnya bahaya. Dan memang, di tengah kabut tebal, biasanya binatang-binatang lebih memilih berdiam diri. Maka, dengan kenekadannya, ia pun masuk ke dalam hutan yang gelap. Ia memilih mengambil risiko untuk tetap masuk berburu ke dalam hutan karena melihat pesaingnya lebih memilih menunggu. Dengan instingnya, ia mencoba mengadu keberuntungan.
Karena anak panah yang diperbolehkan hanya tiga, ia pun mengatur siasat. Panah pertama dilesatkan ke dalam hutan yang dianggap berpotensi ada kijang, untuk mengganggu mereka dari sarangnya. Panah pertama terbuang sia-sia. Panah kedua lalu dilesatkan dengan lebih hati-hati. Terdengar suara keributan kijang-kijang yang sepertinya terusik oleh panah itu. Tapi, panahnya tinggal satu. Pilihannya adalah melesatkan panah terakhir ke arah suara itu, atau kesempatan segera menghilang.
Panah terakhir pun akhirnya dilesatkannya. Tak ada suara. Ia pun sepertinya telah kehilangan kesempatan untuk menjadi panglima.
Akan tetapi tiba-tiba muncullah seekor kijang yang terluka kakinya, ke hadapannya. Dengan mudah, ia pun berhasil menangkap kijang itu. Rupanya, meski panahnya meleset, sekumpulan kijang itu panik berlarian tak tentu arah, dan salah satunya terjatuh sehingga kakinya pincang. Kijang itulah yang kemudian berhasil ditangkap si pemuda.
Dari kisah ilustrasi di atas, misalnya, kita bisa belajar bahwa untuk meraih sesuatu, memang acapkali kenekadan—dengan risiko terukur tentunya—perlu dikedepankan. Kita memang tak pernah tahu dan bisa menebak bagaimana dan apa yang terjadi di masa mendatang. Tapi, kalau bisnis tak berani menempuh risiko, banyak peluang akan terlewatkan.
Tentu, butuh kebijaksanaan dalam persiapan menghadapi risiko. Namun, dengan keberanian dan tekad meraih kesuksesan, risiko justru akan jadi bagian penting untuk pembelajaran dan memajukan perusahaan.
Terus berjuang, berupaya, dan bekerja dengan maksimal dan penuh keberanian.
Gusti mberkahi.
Sumber : Koran SINDO, edisi Senin 11/1/2016
0 komentar:
Post a Comment