Suatu hari, seorang remaja putri berkendara dengan ayahnya. Di tengah perjalanan, mendadak turun hujan yang sangat lebat. Remaja putri itu bertanya pada si ayah. “Bagaimana ini, Ayah?”

Sang ayah menjawab, “Jalan saja terus.” Mobil-mobil yang lain mulai bergerak ke bahu jalan karena hujan turun semakin deras. “Aah, bagaimana ini? Apa kita perlu minggir juga?” tanya si remaja putri itu sekali lagi. “Tetap saja menyetir,” jawab sang ayah dengan tenang.

Dalam jarak beberapa meter berikutnya, dia memperhatikan sudah ada delapan belas pengendara yang juga meminggirkan kendaraannya. Dia pun berkata lagi pada sang ayah, “Yah, aku harus berhenti, pandanganku sudah tidak jelas. Cuacanya benar-benar buruk. Semua orang juga sudah berhenti di bahu jalan!”

Meski begitu, sang ayah tetap bersikukuh dengan jawabannya, “Jangan menyerah, jalan saja terus!” Mereka pun tetap berkendara meski kecepatannya rendah di tengah guyuran hujan deras, namun sesaat kemudian si remaja putri bisa melihat sedikit lebih jelas.

Setelah beberapa kilometer, mereka sudah berada di daerah yang kering lagi. Sinar matahari bersinar terang. Sang ayah berkata, “Sekarang, kita bisa berhenti dan keluar mobil sebentar.” Putrinya menjawab, “Tapi, kenapa sekarang?” Jawab sang ayah, “Saat kamu keluar nanti, lihatlah ke belakang, ke arah orang-orang yang tadi menyerah dan akhirnya malah masih terjebak dalam hujan yang lebat. Karena kamu tidak pernah menyerah, kamu bisa keluar dari hujan tadi.”

Seperti dalam kisah pengalaman remaja putri dan ayahnya di atas, kita bisa belajar untuk tidak cepat menyerah meski orang lain, yang paling kuat sekalipun, bersikap menyerah. Jika kita tetap melangkah dengan kepala tegak menghadapi badai sehebat apa pun dalam hidup ini, cepat atau lambat badai itu akan berakhir dan matahari akan menyinari wajah kita lagi.

Alkisah, siang yang terik di sebuah perempatan jalan raya sebuah kota besar. Putra yang sedang berkendara, melihat lampu diperempatan jalan berubah dari kuning ke merah. Bukannya melambatkan laju mobilnya, dia malah ’tancap’ gas. Ia tahu, lampu merah di persimpangan itu biasanya menyala cukup lama. Keengganannya menunggu membuatnya nekad menerobos lampu lalu lintas.

Pelanggaran yang dilakukan pun segera menuai reaksi dan terdengar suara peluit keras sekali.  “Priiiiiiitttt!” Seorang polisi melambaikan tangan memintanya berhenti. Dengan hati mengumpat jengkel, Putra menepikan kendaraannya. Dari kaca spion, ia memperhatikan polisi yang mendatanginya. Wajahnya familiar.

“Ah, itu kan Andi, teman SMA-ku dulu!” Putera merasa lega, segera turun dari mobil dan menyambut Andi layaknya teman lama. “Hai, Andi. Apa kabar? Senang sekali bisa ketemu kamu lagi! Maaf nih, karena lagi buru-buru, aku terpaksa menerobos lampu merah.”

“Halo Putra,” sapa Andi. Namun, dengan wajah serius dan tanpa senyuman di wajahnya. “Aku mengerti. Tapi Put, jujur aja, kami sering memperhatikan kamu melanggar lampu merah di persimpangan ini.”

“Oh ya?” Putra memasang tampang kurang senang. “Kalau begitu, silakan tilang saja!” Dengan kasar, Putra menyerahkan SIM-nya kepada Andi dan masuk ke mobilnya sambil membanting pintu. Melalui sudut matanya, Putra memperhatikan Andi menulis. Hatinya jengkel, mengingat perlakuan teman lamanya yang dirasanya kurang simpatik itu.

Tak lama, Andi menghampiri mobil Putra dan Putra pun menurunkan kaca jendela sedikit, mengambil kertas yang diselipkan melalui celah sempit itu, dan melemparnya begitu saja ke atas dashboard mobil. Andi sempat tertegun melihat kelakuan teman lamanya itu.

Setelah tiba di tempat tujuan, sebelum turun dari mobil, Putra mengambil kertas dari Andi. Tiba-tiba, ia menyadari SIM-nya terselip di situ. Dan kertas yang dikiranya surat tilang ternyata adalah secarik surat untuknya.

Sambil terheran-heran, ia segera membaca isi surat Andi.

“Putra, mungkin kamu masih jengkel ya.  Aku mau berbagi cerita.  Dulu, aku punya seorang anak perempuan. Sayangnya, dia meninggal, tertabrak seorang pengemudi yang ngebut menerobos lampu merah. Orang itu dipenjara selama beberapa bulan dan setelah masa tahanannya berakhir, ia bisa bertemu dan memeluk anak-anaknya lagi. Sedangkan, anakku satu-satunya sudah tiada. Mungkin kamu berpikir pelanggaran lalu lintas sebagai hal remeh. Namun bagiku, pelanggaran semacam ini adalah hal besar yang mempengaruhi seluruh kehidupanku. Aku harap kamu berhati-hati dalam berkendara. Semoga selamat sampai di tujuan. Salam, Andi.”

Putera terhenyak. Matanya berkaca-kaca, ada rasa sedih dan sesal di situ. Ia berjanji dalam hati akan meminta maaf kepada Andi dan sejak saat itu akan berhati-hati dalam berkendara.

Sering kali ketidak hati-hatian kita dalam bersikap bisa menyebabkan celaka bagi orang lain. Saat itu terjadi, yang tersisa hanyalah kesedihan dan penyesalan. Mari tingkatkan kewaspadaan kita dan lebih berhati-hati dalam bersikap, untuk menghargai kehidupan kita sendiri dan orang lain.

Seorang kurcaci duduk di depan pintu rumahnya. Ia terlihat murung dan lesu. Tak lama kamudian, lewatlah seorang peramal. Peramal itu kasihan melihat si kurcaci dan menegurnya, “Mengapa engkau terduduk lesu wahai kurcaci?” Si kurcaci menjawab dengan sedih, “Aku ini makhluk paling malang di seluruh Fairland. Sudah seminggu ini aku berjualan jamur, tak ada seorangpun yang mau membeli!”

Mendengar hal itu si Peramal membuka buku ramalannya, lalu terpekik dengan gembira, “Wah hentikanlah wajah murungmu itu nak! Besok adalah hari keberuntunganmu. Kau akan memperoleh untung besar!” Lalu si Peramal mengucapkan mantra untuk mengikat keberuntungan si Kurcaci. Mendengar hal ini si Kurcaci menjadi bersemangat. Ia mempersiapkan jamurnya dan membersihkan kiosnya dengan sangat teliti malam itu.

Esoknya di pasar Fairland, si Kurcaci dengan semangat menawarkan jamur – jamurnya. Melihat semangat dan senyum si Kurcaci, penduduk pun berdatangan dan memberli jamurnya. Si Kurcaci bahagia sekali! Sorenya ia pulang ke rumah dengan puas dan berujar, “Aku beruntung sekali hari ini. Berkat mantra dari si Peramal, hari keberuntunganku berjalan dengan baik.” Lalu ia menyiapkan lagi jamur – jamur untuk dijual besok. Sebelum tidur,terbersit pemikiran di benaknya, “Bagaimana jika keberuntunganku sudah habis ya? Kan hari keberuntunganku sudah berlalu….”

Esoknya, benarlah pemikiran si kurcaci. Jamurnya tak tersentuh sama sekali, kendati ia telah berteriak – teriak menawarkannya. Si Kurcaci yang sedih segera mencari sang Peramal. Ia bermaksud untuk meminta mantra pengikat keberuntungan. Berjalanlah ia hingga larut malam ke pondok si peramal.

Sesampainya di pondok Peramal, ia mengetuk pintu dan menemui si Peramal seraya menceritakan pengalamannya. Ia juga minta agar Peramal mau mengajarkan mantra pengikat keberuntungan. Mendengar hal ini si Peramal hanya tersenyum dan berkata, “Nak, sesungguhnya aku tak mempunyai sihir atau mantra seperti yang kau minta.” Si Kurcaci sangat terkejut! “Lalu apa yang kau lakukan hari itu hingga membuat hariku sangat beruntung?” tanya kurcaci.

“Aku tidak melakukan apapun. Engkaulah yang membuat harimu beruntung. Ketika aku mengatakan ramalan baik dan mengucapkan mantra, hatimu menjadi ringan dan terhibur. Senyummu menjadi indah dan suaramu enak didengar. Itulah yang membuat harimu cerah dan penuh keberuntungan. Lihatlah dirimu saat ini! Wajahmu cemberut, senyummu terpaksa, dan nada suaramu terdengar tajam. Keraguan menyelinap di hatimu dan mengacaukan semuanya. Tidak ada mantra ataupun sihir yang bisa mengubah harimu, Nak. Dirimulah satu – satunya yang menentukan baik atau buruknya hari itu.”

Penulis Rusia yang hebat, Leo Tolstoy, pada suatu hari berjalan jalan, dan merasa kasihan pada seorang pengemis. Maka dia berhenti, dan ingin memberi uang kepada si pengemis. Ketika dia merogoh kantongnya, baru disadarinya dia tidak membawa uang.

Maka dijabatnya tangan si pengemis sambil berkata: "Saudaraku jangan marah, maafkan aku, hari ini aku tidak membawa uang." Si pengemis tiba2 matanya berbinar binar, dengan syukur dan penuh kebahagiaan dia berkata: " Aku tidak mungkin marah, perkataanmu telah merupakan penghargaan yang terbesar yang aku pernah rasakan selama ini."

Leo Tolstoy memang tidak memberi uang, tapi dia telah mengembalikan harga diri sorang pengemis yang biasanya selalu di rendahkan masyarakat. Dan nilai kata2 satu kalimat Tolstoy telah memberikan nilai yang jauh lebih besar dari uang yang bisa diberikan kepada pengemis.

Setiap manusia, apapun latar belakangnya, mempunyai kesamaan yang mendasar. Semuanya ingin dipuji, ingin diakui, ingin dihargai, ingin didengarkan, dan ingin dihormati.

Tidak peduli dia adalah pengemis, ataupun pebisnis, ataupun pengusaha kaya, selalu mempunya ego dan keinginan yang sangat manusiawi ini. Dan rahasia sederhana ini pasti akan meningkatkan kemampuan anda dalam berhubungan dengan siapapun didalam network anda.

Kita harus belajar melihat siapapun sebagai manusia yang mempunyai kelebihan sendiri dendiri. Kita harus mampu menghargai orang lain, dari dalam hati kecil kita. Tulus menganggap orang lain setara, atau bahkan lebih dari kita. Dengan demikian maka segala urusan komunikasi akan selesai dengan sendirinya. Dan anda akan lebih mudah mencapai sukses anda.

Alkisah, suatu hari seorang gadis menemukan sebongkah batu kusam di pinggir jalan. Meski hanya batu biasa, si gadis memungutnya dan menyimpannya baik-baik. Bahkan, setiap hari ia menggosok batu itu dengan hati-hati. Batu yang bukan permata itu dan karena terus digosok dan digosok, lama-kelamaan berubah menjadi mengkilat dan bersinar.

Si gadis pun membawa batu itu ke tukang permata untuk diolah menjadi sebuah liontin yang indah. Ajaibnya, di tangan ahlinya batu biasa itu berubah hingga menyerupai batu permata. Begitu berkilau dan sangat indah. Si gadis sungguh gembira melihat batu biasanya bisa berubah begitu rupa. Ia pun memamerkannya pada siapa pun yang dijumpainya. Sudah diduga, semua orang yang melihat mengira batu itu adalah permata yang mahal harganya. Si gadis semakin percaya diri dan selalu memakai liontinnya ke mana pun ia pergi.

Hingga suatu hari liontin batu itu terlepas dari ikatannya. Si gadis baru menyadari lama setelah itu, jadi dia sungguh tak tahu liontinnya hilang di mana. Hal ini membuatnya sangat sedih. Dia pun jadi kehilangan selera makan dan tidak bersemangat. Sampai suatu hari ada seorang kakek yang melihatnya sedang termenung. Bertanyalah si kakek tentang kesedihannya. Si gadis pun menceritakan semuanya.

Setelah si gadis selesai bercerita, berkatalah si kakek, “Anakku, sadarilah semua hal yang telah kamu lalui itu adalah proses menuju keberhasilanmu. Dulu kamu menemukan batu kusam di jalanan. Lalu, kamu mengambil dan menjaganya baik-baik. Selalu menggosoknya hingga akhirnya menjadi mengkilat. Dan di tangan tukang permata, batu itu menjadi lebih indah lagi, mirip permata. Ketahuilah, semua itu hanyalah proses. Dulu kamu tekun menjalani setiap tahapan mengubah batu kusam menjadi sebuah benda yang terlihat berharga. Batu itu sebenarnya hanyalah batu. Keuletanmu menjaganya itulah yang membuatnya lebih bernilai. Lalu, mengapa kamu jadi bersedih hanya karena kehilangan batu itu? Lihat di sekitarmu, masih banyak batu-batu kusam yang dapat kau jadikan batu yang berkilat indah. Ciptakan lebih banyak karya indah yang akan menceriakan hari-harimu dan membuat wajahmu berseri-seri. Itu jauh lebih penting daripada meratapi sebuah batu kusam yang hilang.”

Seketika si gadis diliputi kecerahan dan keceriaan. Dia sudah menyadari kebodohannya. Si gadis pun dengan gembira siap berusaha dan memproses lagi batu kusam menjadi permata.

Kesuksesan sejati itu selalu diraih melalui proses perjuangan yang panjang dan berliku. Saat kesuksesan sudah di tangan kita, bisa saja kita mengalami kemunduran, kegagalan, dan kebangkrutan. Tidak usah takut, hidup ini selalu berubah. Jika kita gagal, kita frustrasi; dan saat kita sukses, kita lupa diri. Inilah baru bencana yang sebenarnya. Selama kita bersedia berjuang dari awal lagi dan tekun menjalani langkah demi langkahnya, keberhasilan demi keberhasilan akan kembali pada kita. Dan kebahagiaan akan kembali kita rasakan.

Suatu hari, seorang murid diajak berkeliling oleh gurunya. Di sepanjang perjalanan, sang guru memberikan berbagai wejangan kehidupan pada muridnya, yang mendengarkan dengan penuh perhatian. Rupanya, inilah hari terakhir sang murid sebelum turun gunung dan mengamalkan berbagai ilmu yang didapatnya.

Kemudian di tepi sebuah hutan, mereka menemukan sebuah sungai kecil yang tidak memiliki jembatan. Karena sungainya tidak terlalu lebar, sang guru dan murid tanpa kesulitan melompatinya sampai ke seberang. Hanya saja, karena langkah kaki dan ilmunya belum sehebat sang guru, si murid harus mengambil ancang-ancang dua langkah ke belakang.

Mereka pun meneruskan perjalanan sembari terus membicarakan banyak hal. Tanpa terasa, jalan mereka pun terus naik dan mendaki hingga kemudian sang guru berhenti di sebuah tebing jurang yang cukup tinggi.

“Nah, kita sudah hampir tiba di tempat tujuan. Sekarang, kita melompat ke ujung bukit di sana,” pesan sang guru yang tiba-tiba langsung melompat tinggi dan mendarat mulus di seberang. “Ayo, lompat!”

Si murid sejenak melongok ke dalam jurang. Meski tak terlalu dalam, tapi itu cukup untuk membuatnya sedikit ketakutan. Melihat itu, gurunya berujar, “Ayo, jangan takut! Itu jaraknya sama dengan sungai yang kita lewati tadi.”

Meski ragu, si murid pun berusaha menuruti gurunya. Ia merasa tak punya pilihan lain. Apalagi, gurunya mengatakan, jaraknya tak lebih lebar dari saat ia menyeberang di sungai yang tadi dengan mudah dilompatinya. Namun, saat berlari hendak melompat, tiba-tiba ia berhenti. Ia ragu-ragu, karena jika salah ambil ancang-ancang, akibatnya jauh lebih fatal dibanding saat melompati sungai.

Karena itu, si murid mencoba mengambil langkah mundur lebih jauh. Setidaknya, ia mundur hampir sepuluh langkah agar ia bisa berlari kencang sebelum melompat. Ketika mengambil jarak lebih jauh, kecepatan larinya berhasil membuat ia berhasil melompat jauh hingga sampai ke seberang dengan selamat.

Sembari mengelus kepala si murid dengan penuh kasih, sang guru memberi wejengan lain. “Muridku, kamu tahu apa yang membedakan lompatanmu saat di sungai dan di tebing jurang tadi? Meski jaraknya sama, keduanya punya tantangan yang berbeda. Maka, kamu mengambil ancang-ancang mundur lebih jauh saat di tebing jurang untuk memastikan keselamatanmu.

Begitu juga dengan kehidupan ini. Kadang, saat tantangan yang lebih hebat menghadang, kita perlu mundur sedikit lebih jauh. Ini semata adalah upaya kita untuk bisa melompat lebih jauh dan tinggi. Maka, suatu kali nanti, jika kamu merasa mengalami kemunduran, kegagalan, kesulitan, bahkan jatuh.. jangan pernah berputus asa. Barangkali, itu justru langkah mundurmu agar bisa belajar melompat lebih tinggi.”

"MUNDUR UNTUK MELOMPAT JAUH"

Jika diresapi maknanya, akan melahirkan kekuatan di tengah hadangan dan terjangan badai kehidupan yang sering terjadi. Bahkan, saat mundur itulah, masa paling suram itulah, jika kita tahan, terus maju, ulet, makin kerja keras maka pintu sukses akan terbuka lebar.

Mari, jadikan setiap momen kesulitan, ujian, dan cobaan sebagai masa belajar dan evaluasi untuk memperbaiki keadaan. Jangan sesali dan jangan pernah mengeluh. Sebab, bisa jadi, ujian terberat itu justru membuka banyak peluang di masa depan.

SUKSES SELALU, GUSTI MBERKAHI!