Jangan Perlakukan Orang Lain Semena-Mena

"Sebagai istri, saya tentu ingin disayang suami. Belajar masak, rajin bersih-bersih rumah, berlaku lembut penuh cinta kepada suami, dan berusaha hemat dalam penggunaan uang belanja biar disebut istri cerdas dan yang tersayang."

Setiap kali belanja kemana pun, saya pasti ngotot berusaha menawar dagangan dengan harga semurah mungkin. Diskon seribu dua ribu saya kejar, padahal energi yang dikeluarkan untuk tawar-menawar panjang bisa lebih dari itu. Tapi demi disayang suami, saya tetep ngotot. Tak jarang suami yang mengantar geleng-geleng kepala. Saya sih cuek saja, istri pelitnya ini selalu beralasan sama, "Kan biar hemat.."

Suatu sore setelah lelah keliling pasar, di perjalanan menuju parkiran mobil, seorang pedagang tanaman bunga yang berusia sepuh menawarkan dagangannya, “Bu, beli dagangan bapak, bibit bunga mawar 5 pot, cuma 25.000 per pot."

Tadinya saya cuek, tapi saya tiba-tiba teringat pekarangan mungil di rumah yang kosong. "Wah murah nih," pikir saya. "Cuma 25.000/pot, tapi ah pasti bisa ditawar!"

“Ah mahal banget Pak, masa 25.000, sudah 10.000 per pot,” dengan gaya cuek saya menawar sadis.
“Jangan Bu, ini bibit bagus. Bapak jual sudah murah. Kalau 15.000 saja gimana Bu, sudah sore, Bapak mau pulang.”
Saya ragu sejenak. Ya memang murah sih. Di toko bunga, bibit bunga mawar seperti ini paling tidak 45.000 harga 1 pot nya. Tapi bukan saya dong kalau tidak berjuang.

Saya pun berkata, “Sudalah Pak, 10.000 ribu saja satu. Kalau tidak dikasih, ya tidak apa-apa,” saya pura-pura beranjak hendak pergi.

Pedagang sepuh itu ragu sejenak, kemudian menghela nafas. “Ya sudah Bu, tidak apa-apa 10.000, tapi tolong ambil semuanya ya, Bapak mau pulang, sudah sore.”

Saya pun bersorak dalam hati, "Yeees…menang!"

“Oke pak, jadi 50.000 ribu ya untuk lima pot. Bawain sekalian ya Pak ke mobil saya, tuh yang di ujung parkiran.”

Saya pun melenggang pergi menyusul suami yang sudah duluan. Si bapak pedagang mengikuti di belakang. Sesampainya di parkiran, si bapak membantu menaruh pot-pot tadi ke dalam mobil. Setelah saya membayar 50.000 lalu, si bapak tadi segera pergi. Lalu terjadilah percakapan berikut dengan suami saya.

"Bagus kan Sayang, aku dapat 5 pot bibit bunga mawar dengan harga murah.”

“Oohh.. berapa kamu bayar?” tanya suami saya.

“50 ribu.”

“Hah…!!! Itu semua 5 pot?” Dia terkejut.

“Iya dong… Hebat kan, aku nawarnya?" Tadi bapak itu nawarinnya 25.000 untuk satu pot,” kata saya sambil tersenyum lebar dan bangga.

Kali ini, suami saya marah. "Gila kamu, sadis amat! Pokoknya aku enggak mau tahu. Kamu susul si bapak sekarang. Kamu bayar dia 125.000 ditambah upah bawain pot-pot bunga ke mobil 25.000. Nih uangnya 150.000. Kamu kejar!” Suami membentak keras.

Saya bertanya kebingungan. “Tapi…kenapa..?”
Suami saya makin keras suaranya, “Cepat susul sana, tunggu apa lagi?”

Tidak ingin dibentak lagi, saya langsung turun dari mobil dan berlari mengejar si bapak tua. Saya lihat dia hendak naik angkot di pinggir jalan.

"Pak, tunggu Pak!"

"Eh Bu, ada apa?" Si Bapak terkejut melihat kedatangan saya.

“Pak, ini uang 150.000 dari suami saya. Katanya buat Bapak. Bapak terima ya."

“Lho, Ibu kan tadi sudah bayar 50.000, benar kok uangnya,” kata si bapak keheranan.

"Kata suami saya, harga bunga bapak pantasnya dihargain segini,” kata saya sambil menyerahkan uang 150.000 ke tangannya.

Bapak itu tercenung, kemudian menjawab sambil terisak, "Terima kasih Bu... Mungkin ini jawaban doa Bapak. Sedari pagi, seharian dagangan Bapak enggak ada yang beli, yang noleh pun enggak ada. Anak istri bapak lagi sakit di rumah, enggak ada uang buat berobat. Pas Ibu nawar, Bapak pikir enggak apa-apa harga segitu asal ada uang buat beli makan secukupnya. Ini Bapak mau buru-buru pulang, kasihan mereka nunggu. Makasih ya Bu, suami ibu orang baik. Ibu juga baik, jadi istri nurut sama suami. Sudah ya Bu, Bapak pamit mau pulang…"  Dan si bapak pun berlalu.

Saya tanpa bisa berkata apa pun, berjalan kembali ke mobil. Sepanjang perjalanan, saya menangis dalam renungan dan kesadaran baru. Benar kata suami, tidak pantas menghargai jerih payah orang dengan harga semurah mungkin, hanya karena kita ingin sangat berhemat.

Berapa banyak usaha si bapak sampai bibit itu siap dijual? Tidak terpikirkan oleh saya. Sejak itu, saya berubah dan tak pernah lagi menawar kepada pedagang kecil manapun.

Percaya saja, bahwa rejeki sudah diatur oleh Tuhan.

Gusti mberkahi. (Sumber perenungan seseorang)

0 komentar:

Post a Comment