DI MANA LETAK KEBAHAGIAAN YANG SESUNGGUHNYA?

Tersebutlah seorang pemuda desa yang dikenal unik hidupnya. Namanya Abun. Ia sering berkelakar, bercanda, namun dikenal cerdas oleh orang sekampungnya. Banyak pertanyaan dan pernyataan aneh, namun penuh makna yang sering kali terlontar dari mulutnya. Karena itulah, ia punya banyak teman yang acap kali bertanya banyak hal tentang kehidupan dari sudut pandangnya.


Suatu kali, seorang temannya bertanya, “Wahai saudaraku Abun. Aku ini sudah punya segala sesuatu. Tapi, entah mengapa aku masih jarang merasakan kebahagiaan. Sebenarnya, ke manakah aku harus mencari kebahagiaan yang bisa benar-benar menentramkanku?” tanyanya.

“Pertanyaanmu menarik. Beri aku waktu sehari untuk menjawabnya. Esok hari, di jam yang sama, datanglah kemari,” sebut Abun sembari kembali ke rumahnya.
Keesokan harinya, sesuai perintah Abun, sang teman datang kembali. Ia sudah tak sabar ingin mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang diajukannya. Namun ternyata, di sana ia menjumpai Abun seperti orang yang sedang kebingungan. Ia lantas bertanya, “Apa yang sedang kamu lakukan? Ada yang bisa aku bantu?”

Sambil terus terlihat sibuk, Abun pun menjawab, “Aku kehilangan pukul besi untuk menatah kayuku. Bisa kamu bantu mencari?”

Mereka berdua pun sibuk mencari dan mencari. Hingga siang menjelang sore, pukul besi itu tetap tak ditemukan. Akhirnya, si pemuda pun bertanya pada Abun. “Wahai Abun, kita sudah seharian mencari-cari di luar sini. Kalau bisa diingat-ingat lagi, di manakah terakhir kali engkau menggunakan pukul besi itu?” tanyanya penasaran, setelah lelah seharian ikut membantu mencari dan tidak mendapatkan apa-apa.

“Terakhir kali, aku ingatnya sih aku gunakan untuk membantu menatah kayu di dalam bengkel rumah,” jawab Abun sekenanya.

Hah...?” sambut si pemuda keheranan. “Kalau ingat di dalam bengkel, kenapa kamu mencari-carinya di luar sini?”

“Habis, di dalam sana gelap. Jadi aku mencarinya di sini yang lebih terang,” sahut Abun seolah-olah tak bersalah.

“Aku ke sini tadinya ingin mendengarkan kebijaksanaanmu. Aku benar-benar ingin mendapat jawaban tentang dari mana kita bisa mendapatkan kebahagiaan. Tapi, engkau malah berlaku bodoh seperti itu. Kalau dari tadi kamu memberi tahu pukul besi itu habis kamu gunakan di dalam bengkel, pasti sudah ditemukan di sana,” jawab si pemuda agak jengkel.

Melihat kedongkolan temannya, Abun pun berkata, “Sebenarnya, aku hanya ingin menunjukkan padamu, bahwa banyak di antara kita sering kali mencari sesuatu bukan pada tempatnya. Kita sebenarnya sudah tahu di mana, tapi tak mau mencarinya di sana. Seperti pukul besi itu,” sebut Abun.

“Kamu kemarin bertanya di mana mencari kebahagiaan. Kamu sebenarnya bisa menemukannya langsung dalam diri kamu, karena kamu mengatakan kemarin sudah punya segalanya. Tapi, karena kamu sibuk mencari-cari di luar dirimu, kebahagiaan itu seolah-olah tak pernah kamu temukan. Karena itu, cobalah kembali renungkan, apa yang sudah ada dalam diri dan sekitarmu. Rasakan kenikmatannya berada di tengah keluarga yang setiap hari mendukungmu, rasakan semua berkat yang diberikan padamu. Di situlah, kamu akan mendapatkan kebahagiaan, bukan di luar sana dan sibuk mencari dan terus mencari.”
Si pemuda itu pun mulai paham dengan apa yang dilakukan Abun sejak tadi. Rupanya, ia mengajarkan nilai-nilai kebahagiaan harusnya diperoleh dari dalam diri, bukan dicari-cari dari luar diri. “Terima kasih atas nasihatmu. Aku berjanji, mulai hari akan lebih banyak bersyukur, sehingga rasa bahagia itu akan muncul dari dalam diri.”

Kebahagiaan memang bisa diukur dengan sudut pandang apa pun. Ada yang menyebut dengan ukuran materi, ada yang menyebut dengan ukuran kehadiran anak, ada yang menyebut dengan ukuran kesehatan. Semua tak salah. Semua ada kadar dan kondisinya sendiri-sendiri. Namun, alangkah nestapanya kita jika kemudian ukuran orang lain selalu dijadikan standar untuk mencari kebahagiaan. Sebab, jika itu yang terus-menerus kita lakukan—yakni dengan membanding-bandingkan—niscaya kita tak akan pernah merasakan kelimpahan yang kita cari.

Kebahagiaan adalah soal keputusan. Apakah kita sudah merasa mendapatkan segala sesuatu—dengan ukuran kita—atau belum, semua kembali pada pilihan masing-masing

Jika kita bisa memaknai kisah di atas, maka kita pun akan lebih banyak berintrospeksi, apa yang sudah saya dapat, apa yang sudah saya nikmati, di sanalah sesungguhnya kita bisa memperoleh kebahagiaan.

Mari, syukuri apa pun yang kita terima sampai hari ini. Kita syukuri apa pun yang kita dapatkan dalam kehidupan. Kesadaran tentang semua hal tersebut akan membuat kita makin kaya dalam arti yang sesungguhnya, yakni kaya hati dan kaya rasa, untuk meraih kebahagiaan sejati.

Gusti mberkahi

0 komentar:

Post a Comment