Anda pernah mendengar kata "periode keemasan" atau masa-masa jaya? Kalimat itu sering muncul, bahkan sering menjadi mimpi, atau nostalgia. Ada masa keemasan bulutangkis, ada masa keemasan sepakbola, ada masa keemasan ini dan itu, bahkan sering disebut ada masa keemasan bangsa Indonesia, yang kerap merujuk ke berbagai masa, mulai zaman Majapahit, atau bahkan ada yang berspekulasi merujuk ke Atlantis sebagai masa lalu Indonesia.
Namun, apa itu "masa keemasan"? Kita akan melihat berbagai konteks. Dalam dunia seni rupa, pernah muncul masa keemasan, di mana perupa-perupa besar seperti Leonardo Da Vinci, Michelangelo, Raphael dan banyak lagi, lahir dan besar di tempat yang sama. Dalam dunia tenis, pernah ada masa-masa dimana petenis-petenis Rusia: Yefgeny Kafelnikov, Marat Safin, Anna Kournikova dan petenis-petenis lain seangkatannya, menguasai peta tenis dunia.
Persamaan dari kasus-kasus zaman keemasan, adalah kekuatan karakter. Mereka memiliki mental juara, mental menjadi besar. Lalu, darimana mental ini terbentuk? Mental ini terbentuk melalui budaya, atau sistem kultural yang membentuk orang-orang dalam sistem tersebut. Sistem inilah yang hilang di bangsa kita. Sistem ini sebenarnya ada di setiap budaya lokal, namun seiring waktu terlupakan dan hanya dipandang sekedar heritage.
Membangun bangsa yang plural ini, membutuhkan fondasi yang kuat, yaitu karakter. Orang-orang yang berkarakter, tidak akan terjebak dalam naluri rendah yang menyebabkan intoleransi. Orang-orang yang berkarakter, tahu membentuk dirinya berdasarkan potensi dan keunikannya masing-masing, dan bukan berlindung di balik penyeragaman. Karena pada dasarnya, manusia diciptakan unik, bukan seragam. Manusia berkarakterlah, yang akan membebaskan dirinya dari jeratan hasrat untuk kepemilikan yang dilakukan dengan tindakan curang atau korupsi. Mereka tahu bahwa dengan kapasitas dirinya yang berkembang, maka segala bentuk materi akan mengikuti. Manusia berkarakter, adalah manusia yang sadar bahwa kebebasan dirinya menentukan perkembangan dirinya. Kebebasan, bukan perilaku seenak udel melainkan bebas memilih perilaku bermartabat yang membuat hidupnya berkembang. Bebas melepaskan diri dari godaan untuk membuat dirinya nista atau tak bernilai hanya semata memenuhi hasratnya.
Jean Paul Sartre, filsuf eksistensialis, mengatakan bahwa manusia adalah kebebasan. Sartre menolak segala konsep determinisme. Pada awalnya manusia memang bukan siapa-siapa, tapi seiring perkembangan dirinya, manusia sendirilah yang menentukan ia akan menjadi manusia seperti apa.
Sistem kultural, adalah tempat yang menyemai kebebasan manusia dan memberinya tempat yang tepat untuk tumbuh. Inilah sistem yang dulu pernah digagas Ki Hadjar Dewantara melalui Taman Siswa. Pendidikan adalah wadah untuk menjadikan apa yang natur menjadi kultur, dan peran guru hanya sebagai "among", atau pengasuh. Segala yang dibutuhkan siswa sudah ada dalam dirinya, jadi guru bukan mencekoki siswa dengan pengetahuan dari luar. Siswa dibiarkan tumbuh dan menjadi. Itulah eksistensi, yang mentransformasi esensi menjadi kemenjadian.
Sartre menjelaskan bahwa eksistensi manusia ditentukan oleh perbuatan. Dengan kata lain, manusia menentukan dirinya sendiri. Setiap manusia memiliki esensi, namun tanpa eksistensi, esensi itu tak pernah menjadi. Setiap orang memiliki talenta, namun tanpa eksistensi, maka talenta itu tak pernah menjadikannya seseorang. Di sinilah sebenarnya prinsip penting dari kebebasan, yaitu setiap orang mesti menggali esensinya dan mewujudkannya ke dalam eksistensi. Ini bukan persoalan mudah, karena di sekeliling bisa jadi banyak godaan yang akan membuat orang menjadi orang lain, atau menginginkan menjadi yang bukan esensi dirinya.
Dalam hemat saya, kita memerlukan sebuah revolusi dalam pendidikan. Dibutuhkan pendidikan yang mampu membentuk karakter kuat. Pendidikan yang membuat orang tahu dimana letak esensinya dan kebebasan dalam mewujudkannya. Kita membutuhkan pendidikan, yang mampu membangun dan membawa pada kegemilangan bangsa ini. Pendidikan yang mesti dimulai dari teladan yang diberikan oleh para tokoh dan pemimpin.
Saya, berharap banyak untuk itu. Bagaimana dengan Anda?
0 komentar:
Post a Comment