Alkisah pada zaman dahulu di China ada seorang ahli nujum yang sangat ahli dalam meramal nasib seseorang. Suatu hari ada dua orang tua yang masing-masing membawa anaknya untuk diramal perjalanan hidupnya.
Setelah melihat anak yang pertama, si ahli nujum dengan takjub berkata kepada ibunya, “Anak Ibu mempunyai nasib yang luar biasa. Ia bisa berpotensi menjadi seorang pejabat atau penguasa yang luar biasa di negeri ini.” Ramalan itu membuat si ibu sangat senang dan bangga dengan anak tunggalnya. 
Ahli nujum kemudian melihat anak yang kedua. Ia sempat menggeleng-gelengkan kepala. Namun ia harus berkata jujur kepada ibunya, “Anak ini dilahirkan tanpa membawa bekal atau rejeki apa pun ke dunia ini. Ia bisa-bisa menjadi pengemis.” Mendengar ramalan ini, ibunya menjadi murung. Ahli nujum itu merasa iba kepadanya.
Lalu ia pun memberikan saran, “Jangan bersedih, Bu! Didiklah anak Anda dengan baik. Walupun ia tidak membawa ‘bekal dari langit’, didiklah ia dengan pengetahuan, sikap yang baik, dan semangat untuk menjalani hidup ini. Yakinkan ia bahwa untuk mencapai kesuksesan semuanya harus diperjuangkan.
Selanjutnya, ibu yang anaknya diramalkan menjadi penguasa sukses hanya memanja-manjakan anaknya, tanpa mendidiknya dengan baik, karena ia yakin anaknya akan menjadi penguasa yang sukses. 
Apa yang terjadi? Ternyata cara mendidiknya yang salah telah menjadikan anaknya menjadi pribadi yang kurang baik. Ia hanya bisa menghabiskan harta orangtuanya untuk bersenang-senang. Setelah semua harta warisan orangtuanya habis, ia pun jatuh miskin dan sengsaralah hidupnya.
Sementara itu, orangtua yang meyakini anaknya tidak membawa ‘bekal dari langit’ dengan penuh dedikasi mendidik anaknya; membekali hidupnya dengan daya juang, ilmu pengetahuan, etika, sikap baik, dan semangat. Akhirnya, anak ini berhasil menjadi orang yang sukses. Ia bisa menjalani hidup ini dengan baik berbekal pendidikan dan pengajaran yang diberikan oleh orangtuanya.

Hidup adalah PERJUANGAN.
Gusti mberkahi

19 Oktober 1987, Bintaro 32 tahun silam, dunia perkeretaapian di Tanah Air mengalami duka mendalam. Kecelakaan terbesar sepanjang sejarah kereta api terjadi. Tragedi Bintaro.

Siang itu kereta api jurusan Rangkasbitung - Jakarta KA 225 dan kereta api KA 220 jurusan Tanah Abang-Merak bertabrakan frontal di Bintaro.

Sedikitnya 156 penumpang tewas di tempat dan beberapa di rumah sakit. Dua loko yang beradu dalam kecepatan tinggi melesak ke bekakang menghantam balik gerbong di belakangnya. Banyak penumpang terjepit. Upaya pertolongan pun memakan waktu lama karena parahnya kondisi jepitan gerbong.
Itu adalah kecelakaan terbesar sepanjang sejarah kereta api di Indonesia, hingga kini.

Waktu itu kereta api menjadi andalan transportasi dan banyak warga Merak atau Rangkasbitung mengadu nasib di ibukota Jakarta. Dengan kondisi kereta api waktu itu yang tanpa mesin pendingan, tetap menjadi pilihan karena transportasi darat lain masih terbatas.

Kecelakaan itu pun melumpuhkan perjalanan antara daerah-daerah tersebut selama beberapa hari.

Dari pemantauan jurnalis ada sejumlah warga asal Semarang dan beberapa kota Jateng yang merantau dan ikut menjadi korban. Selebihnya warga lokal.

Peristiwa ini menjadi berita headline selama beberapa hari di surat kabar dan televisi.
Hingga kini masih menyisikan luka mendalam. Dan kisah pilu itu dialami masinis KA 225, Slamet Suradio yang dituduh menjadi kambing hitam kecelakaan. Ia dituduh melaju tanpa adanya Surat Pemberitahuan Tentang Persilangan). Padahal ia telah berhenti di Sudimara namun malah disuruh berjalan  oleh PPKA dan ia sudah tak bisa menahan laju ketika melihat di arah depan di jalur yang sama datang KA 220.

Di persidangan dipaksa mengakui salah. Hidupnya diteror para petinggi KA. Ia dituduh lari, padahal ia terpental dan berdarah darah. Selepas dari penjara 3 tahun istrinya diketahui diserobot sesama masinis. Pensiunpun hilang. Ia pun terlunta di Stasiun Kutoarjo berjualan rokok.

Namun di hari tuanya yang terlunta, kelompok pemerhati sejarah kisah tanah jaea dan masyarakat rela hati menyumbang dana Rp 175 juta dan angka itu jauh dari perkiraan sebelumnya. Mungkin juga nilainya jauh lebih besar dari dana pensiun yang semestinya ia terima.

Bobby Jones, salah satu pemain golf terbesar, baru berusia lima tahun ketika ia pertama kali mengayunkan sebuah stik golf. Pada usia dua belas tahun, ia memenangkan turnamen golf, pada saat itu ia dikenal karena sifat pemarahnya dan ia dijuluki “pelempar stik.” Jones berteman dengan seorang pria bernama kakek Bart yang bekerja paruh waktu di toko club golf itu. Bart dulunya adalah pemain golf hebat, namun mengundurkan diri ketika radang sendi menyerang kedua tangannya. Setelah Bobby kalah dalam turnamen amatir nasional ketika berumur empat belas tahun, Bart berkata, “Bobby, kamu cukup bagus untuk memenangkan turnamen itu, tapi kamu tak akan pernah menang sampai kamu bisa mengendalikan sifat pemarahmu, kamu luput melakukan satu pukulan, kamu gusar dan kemudian kamu kalah.”

Bobby tahu Bart benar dan ia berusaha memperbaiki, bukan ayunannya, melainkan menguasai hatinya. Ketika Bobby memenangkan sebuah turnamen besar pada usia dua puluh satu tahun, kakek Bart berkata, “Bobby berumur dua belas tahun ketika ia menguasai permainan golf, tapi di usia dua puluh satu tahun baru dia berhasil menguasai dirinya sendiri.”

Kehebatan Bobby dalam bermain golf tidak memberikan sukses dalam pertandingan golf itu sendiri, pengendalian diri sangat mempengaruhi keberhasilannya dalam kejuaraan-kejuaraan yang diikutinya, itupun tidak didapatkannya dengan mudah, sembilan tahun Bobby belajar menguasai dirinya sendiri, beruntung dia mendapatkan sahabat yang mengerti kekurangannya dan mau memberikan nasehat-nasehat yang pada akhirnya membawa kesuksesan besar dalam hidupnya.

Kelemahan dan kekurangan kita seringkali menjadi masalah yang menghambat keberhasilan kita. Sudah barang tentu pergaulan kita sehari-hari sangatlah menentukan apakah kita akan terus berada dalam kebuntuan ataukah akan membawa kita pada breakthrough dan pada akhirnya kita berada pada tangga kesuksesan.

Gusti mberkahi.

Ada museum tentang orang-orang terkenal yang sama sekali tidak menonjol pada masa kecil mereka.

Winston Churchill tampak begitu bodoh ketika masih kecil, sehingga ayahnya berpikir bahwa bila dewasa, ia tidak akan dapat hidup di Inggris.

Charles Darwin berprestasi sangat buruk di sekolah sehingga ayahnya pernah mengatakan kepadanya bahwa kehadirannya akan memalukan keluarga.

Penulis kenamaan G.K. Chesterton, tidak dapat membaca hingga ia duduk di bangku kelas tiga. Salah seorang gurunya pernah mengatakan kepada anak yang berbadan gemuk ini, “Jika saja kami dapat membelah kepalamu, kami mungkin tidak akan menemukan otak disana, kecuali segumpal lemak putih.”

Guru dari Thomas Edison, penemu listrik, menyebutnya sebagai anak dungu. Orangtua si jenius, Albert Einstein, merasa sangat cemas terhadap prestasi Albert yang sangat rendah di sekolah. Ia hanya mendapat nilai baik dalam mata pelajaran matematika. Pernah suatu saat, gurunya meminta kepadanya untuk meninggalkan sekolah, dengan mengatakan kepadanya, “Eintein, engkau tidak akan pernah menjadi seseorang”.

Tapi lihatlah sekarang, betapa kelirunya penghakiman yang dijatuhkan atas orang-orang itu. Mereka telah mengukir namanya abadi dalam sejarah.

Jangan pernah terburu-buru untuk menilai dengan negatif atau menganggap bodoh terhadap anak-anak kita. Lebih bijaksana jika kita sebagai orangtua memberikan kata-kata positif, dukungan semangat dan dorongan supaya mereka bertumbuh menjadi pribadi yang diberkati Tuhan. Tuhan selalu merancang hal terbaik untuk anak-anakNya, mengapa kita tidak?

Apapun keadaan seseorang, jangan pernah memberi penilaian yang negative.

Robert dan istrinya terguncang ketika pondok impian mereka, tempat mewah seluas 3.000 meter persegi dengan pemandangan gunung Timpanogos, Amerika Serikat, hancur disapu tanah longsor.

Alam hanya memerlukan waktu sepuluh detik untuk memusnahkan apa yang mereka rancang, rencanakan, bangun dan isi dengan perabot selama bertahun-tahun. Sulit sekali bagi mereka untuk melihat kasih Tuhan dalam situasi ketika mereka memunguti kepingan-kepingan harta benda mereka.

Delapan bulan kemudian, Robert sedang mengikuti sebuah pertemuan bisnis saat seorang kolega bercerita kepadanya tentang kecelakaan yang hampir terjadi pada istri mereka pada hari terjadinya longsor besar itu.

Sebelum meninggalkan pondok mereka, salah seorang putra pria ini berdoa agar mereka dapat pulang dengan selamat. Lalu saat mereka melewati jalan yang sempit, mereka bertemu dengan istri Robert, namun saat menginjak rem, mobil itu tergelincir di es. Sesaat sebelum kedua mobil itu bertabrakan, istri pria itu membelokkan mobilnya ke tumpukan salju yang dalam.

Dibutuhkan waktu hampir satu jam untuk membebaskan kendaraan itu, sepanjang waktu itu istri dan anak Robert tidak bisa lewat. Seandainya kecelakaan itu tidak terjadi, istri dan anak Robert sangat mungkin akan berada di pondok mereka, tewas karena tanah longsor!

Tidak pernah terlambat dan tidak juga terlalu cepat, itulah yang selalu Tuhan buat dalam kehidupan kita. Pengetahuan kitalah yang membatasi pemahaman akan kasih Tuhan. Robert membutuhkan waktu delapan bulan untuk menyadari campur tangan Tuhan.

Ternyata jalan Tuhan tetap yang Terbaik.
Gusti mberkahi.

Lima orang anak laki-laki kembali membuat keributan di dalam rumahnya. Mereka memecahkan banyak perabotan rumah, membentak ibu mereka, dan tidak pernah mau mendengarkan saran dari orang lain kecuali dari ayah mereka.

Salah satu anak laki-laki itu berteriak, “Kami akan tetap bertingkah laku seperti ini jika kau masih berada di rumah ini. Kau bukan ibu kandung kami. Kau adalah ibu tiri dan kami benci ibu tiri!“

Wanita yang kini menjadi ibu mereka hanya tersenyum dan tidak memarahi ataupun membentak anak-anak itu. Wanita itu juga selalu terbangun pada tengah malam untuk berdoa, “Tuhan, aku tahu bahwa aku bukanlah ibu kandung mereka, dan aku juga tidak bisa menjadi ibu yang baik bagi mereka. Aku hanya bisa bersabar dalam mengurus mereka. Aku mau belajar untuk tetap mengasihi mereka seperti Kau mengasihi aku. Tuhan, mampukan aku untuk bisa bertahan dalam mengurus anak-anakku. Dan beri aku seribu alasan untuk bisa memaafkan semua yang telah mereka lakukan kepadaku. Amin.”

Saat anak-anak itu tumbuh menjadi pria dewasa, mereka baru menyadari bahwa ibu tirinya adalah seorang wanita yang spesial. Mungkin sudah ribuan kesalahan dan kekacauan yang sengaja mereka buat, namun ibunya selalu menemukan seribu alasan untuk bisa memaafkan mereka.

Pernahkah kita merasa sult untuk memaafkan?

Pernahkah kita merasa jengkel ketika seseorang berulangkali melukai kita?

Saat kita melakukan kesalahan yang fatal, kita begitu memohon-mohon agar kesalahan kita dimaafkan, lantas mengapa kita tidak bisa memberikan maaf kepada orang lain?

Manusia memang tidak sempurna. Mereka akan selalu membuat kesalahan baik yang disengaja ataupun yang tidak disengaja.
Ada orang-orang yang lebih memilih untuk memusuhi atau membalas dendam, namun kita sebagai pribadi yg disayang Tuhan harus bisa menjadi pribadi yang berbeda.

Jangan pernah berpikir untuk membalas dendam kepada orang lain karena pembalasan itu adalah hak Tuhan.

Slamat Mencoba, Gusti Mberkahi.