Seorang pengusaha sukses tengah diwawancarai tentang perjalanan hidup dan karirnya. Selain sukses dengan bisnisnya, pengusaha ini juga dikenal sebagai donatur untuk mahasiswa-mahasiswa yang kurang mampu.

“Aku dapat mengingat dengan sangat jelas, bagaimana dulu aku menanam jagung dan sayur di ladang. Bagaimana dulu memandikan sapi dan berenang di sungai menjadi aktivitas favoritku.”
“Ada masa-masa dimana hidup menjadi teramat sulit bagi keluarga kami. Dalam kondisi seperti itu, aku terkenang akan ayah yang selalu mengingatkan kami untuk selalu berdoa. Bahkan, setiap malam, kami berdoa bersama. Ibu juga selalu mendoakan kami satu persatu setiap pagi sebelum berangkat sekolah. Ayah dan ibu juga selalu marah jika pada hari Minggu aku malas ke gereja. Dengan berbagai cara, mereka akhirnya berhasil membuatku berangkat. Mereka juga mengajariku untuk selalu memberi, baik memberi pada Tuhan maupun pada teman-teman, padahal saat itu kami juga sedang kekurangan. Semua itu terukir menjadi prinsip-prinsip hidup yang selalu kupegang sampai saat ini.”

Ada sebuah kesimpulan sederhana yang dapat kita temukan pada wawancara singkat pengusaha sukses tersebut. Ketika kita mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan jiwa, maka kita akan menjadikan-Nya sebagai Pribadi nomor 1 dalam hidup. Jika kita mengasihi seseorang, kita pasti akan memberi yang terbaik untuk orang tersebut, bukan? Demikian pula saat kita mengasihi Tuhan, kita akan berjuang untuk memberikan yang terbaik pada-Nya, apapun situasinya.

Sukses buat semua. Gusti mberkahi.
Mungkin kamu merasa hari-harimu adalah hari-hari biasa. Tidak ada yang istimewa. Kamu bangun pagi, siap-siap ke sekolah (atau kerja), mengerjakan tugas, ngobrol dengan temen, begitu seterusnya tiap hari. Semua yang terjadi ya memang sudah sewajarnya terjadi.

Itulah yang kurasakan selama bertahun-tahun. Masa sekolahku adalah masa yang tak jauh berbeda seperti anak-anak pada umumnya. Sejak TK, SD, SMP hingga SMA aku bersekolah di sekolah swasta bersama dengan kakak perempuanku, putri dari saudara perempuan ibuku. Usia kami sama, hanya saja aku dua bulan lebih muda darinya. Saat TK, SD, dan SMP kami satu sekolah, bahkan satu kelas, hanya saja saat SMP kami berbeda kelas. Hingga akhirnya Ujian Nasional untuk SMP tiba. Kami lulus bersama, namun dengan hasil yang berbeda. Nilai kakakku ada jauh di atas nilaiku. Hal ini yang membuatnya dapat bersekolah di SMA Negeri, sedangkan aku hanya dapat bersekolah di SMA swasta. Mungkin kelihatannya sepele. Tetapi tidak bagiku. Aku cukup terpukul dan merasa minder saat itu. Selama ini aku merasa lebih baik dari kakakku. Nilai-nilai ujian harianku biasanya selalu di atas kakak perempuanku. Namun, kali ini, aku kalah. Aku tidak bisa meraih apa yang aku inginkan.

Hari-hari awalku di SMA terasa sangat berat. Suatu hari aku membaca Alkitab, dan aku sampai pada firman Tuhan yang berkata “Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh kepercayaan, kamu akan menerimanya.” (Matius 21:22). Setiap malam aku membaca ayat ini, aku tulis dalam secarik kertas, aku ucapkan dengan mulutku. Aku seperti mensugesti diriku sendiri berdasarkan ayat firman Tuhan ini dengan mengatakan, “aku akan memperoleh apa yang aku minta kepada Tuhan asalkan aku berdoa dengan penuh kepercayaan kepada Allah”. Setiap malam, sebelum aku tidur aku berdoa “Tuhan izinkanlah aku untuk masuk sekolah negeri”. Aku bahkan pernah menulis impianku ini dalam catatan harianku.

Hari pun berlalu. Dan aku mulai melupakan doa yang pernah aku ucapkan di awal masuk SMA itu. Bertahun-tahun tumbuh di lingkungan sekolah berlatar belakang Kristen dan Katolik, aku tentu saja percaya bahwa Tuhan itu ada. Aku berdoa dan membaca Alkitab. Tetapi, apakah Tuhan benar-benar mendengarkan? Entahlah… Aku tidak berani berharap banyak. Masa SMA-ku pun berjalan seperti biasa, normal seperti anak SMA pada umumnya. Pada tahun terakhir, aku mendapat tawaran dan dorongan dari guru BP-ku untuk mengisi sebuah formulir pendaftaran dan membuat surat lamaran untuk masuk universitas melalui jalur PMDK atau masa itu disebut PSSB. Sekali lagi aku tidak berani berharap banyak. Takut kecewa.

Namun, Tuhan memakai momen itu untuk mengajarku bahwa Dia sungguh ada, Dia memegang kendali atas hidupku, dan Dia memperhatikan kerinduan hatiku.

Beberapa waktu kemudian, di luar dugaan, aku diberitahu bahwa aku diterima di sebuah universitas negeri di Semarang. Aku tertegun. Rasanya sangat luar biasa. Ini anugerah! Hadiah yang tak terbayangkan! Pemberian yang sangat hebat! Saat teman-teman lain masih bingung harus meneruskan ke mana, aku sudah dinyatakan diterima masuk ke universitas negeri yang pernah kuimpikan. Betapa hatiku melimpah dengan ucapan syukur.

Ya, hari-hari kita bisa saja terasa datar. Kita menaikkan doa-doa kita setiap hari tanpa ada sesuatu yang istimewa terjadi. Kita lalu ragu apakah Tuhan benar menyertai dan memperhatikan hidup kita. Sebagian orang bahkan mungkin berhenti berdoa dan akhirnya meninggalkan Tuhan. Kenyataannya, Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Memang tak selalu Dia menjawab doa menurut waktu dan cara yang kita tentukan. Itu karena Dia Tuhan! Dia tahu apa yang dilakukan-Nya! Kita saja yang kadang-kadang merasa lebih tahu dari Tuhan, dan bahkan mungkin mencoba mengatur Tuhan kapan dan bagaimana Dia harus menjawab doa-doa kita. Lucu ya? Padahal, Allah kita adalah Allah yang Mahabijak dan Mahakuasa, Mahabaik dan Mahapemurah. Jelas Dia tahu hal terbaik yang kita perlukan!

Seandainya Tuhan langsung memberikan apa yang aku inginkan, mungkin saja sampai hari ini aku tidak memahami apa artinya anugerah. Mungkin aku akan merasa sudah sewajarnya aku meraih semua yang aku peroleh, karena aku berusaha keras untuk itu. Mungkin aku akan selalu merasa diri lebih baik dari orang lain dan tidak mengandalkan Tuhan. Mungkin aku akan menjalani hari-hariku begitu saja tanpa ucapan syukur dari hati. Namun, dengan mengizinkanku mengalami kegagalan dan kekecewaan, Tuhan mengajarku untuk melihat setiap hari dan setiap kesempatan sebagai anugerah yang tak ternilai dari-Nya.

Gusti mberkahi.