Think big. Act small everyday. Berpikirlah besar dan bekerja setiap hari. Lakukan, selesaikan dan menangkan hal-hal kecil. Bahkan Bunda Teresa dari Kalkuta yang melayani para fakir miskin dan mereka yang sudah sekarat pernah berkata, “We can only do small things with great love.” Kita hanya bisa lakukan hal-hal kecil dengan kasih yang besar.
Karena setiap hal yang besar sesungguhnya terdiri dari kumpulan hal-hal kecil. Setiap hari kita bekerja dan menyelesaikan satu tugas kecil saja. Lakukan terus setiap hari. Dalam beberapa tahun, maka tugas-tugas kecil akan menumpuk menjadi besar dan banyak.
Misalnya ketika Anda memutuskan untuk menjadi seorang dokter, maka Anda perlu mengambil kuliah kedokteran di universitas. Ini berarti Anda perlu lulus setiap mata kuliah sebelum bisa lulus menjadi seorang Sarjana Kedokteran. Dan agar lulus setiap mata kuliah, Anda perlu belajar setiap hari dan lulus setiap ujian yang diberikan oleh dosen. Setiap helai buku teks perlu Anda baca. Setiap hal kecil dalam perjalanan Anda menjadi seorang dokter merupakan kerja keras setiap hari.
Juga ketika kita melakukan hal-hal kecil dengan kasih yang besar, maka hasilnya juga akan luar biasa. Kasih membuat kita fokus akan tugas yang perlu diselesaikan. Kasih juga membuat hati kita penuh dengan energi positif. Kasih juga membuat kita berpikiran positif.
Kita bisa menjalankan hal-hal besar karena pikiran kita yang berani untuk berpikir “besar.” Segala sesuatu dimulai dari pikiran. Termasuk ketika kita memutuskan untuk bekerja setiap hari, apa-apa saja yang perlu kita kerjakan, dan bagaimana mengerjakannya. Intinya adalah dengan memiliki kasih, maka hal-hal kecil yang dikerjakan dengan baik akan menghasilkan hal-hal besar.
Jangan ragu untuk berpikir besar. Lakukan hal-hal kecil setiap hari. Niscaya kebesaran akan menjadi milik Anda.

Dalam berbagai kesempatan, saya selalu menekankan pentingnya berbuat, bekerja, dan bertindak dengan baik, benar, jujur, dan halal. Sebab, bagi saya, inilah sumber kebahagiaan sebenarnya. Yakni, berbuat yang bermanfaat untuk diri sendiri, namun juga memberi keberkahan bagi orang lain. Dengan pola pikir yang semacam ini, apa pun yang kita dapat, apa pun yang kita capai, kita sudah menjadi “pemenang”. Kita sudah menjadi orang yang sukses dan menyukseskan. Sehingga, setiap karya, akan selalu penuh makna. Setiap kerja, akan selalu memberi ketenangan pikiran dan jiwa.

Bisa dibayangkan, jika kita semua mampu berkarya dengan pola pikir dan tindakan semacam itu, betapa harmonis dan indahnya kehidupan. Dan saya pun yakin, hal yang dihasilkan pun tak akan lekang dimakan zaman. Perhatikan karya-karya besar dari berbagai penemu, pekerja seni, hingga tokoh bangsa. Mereka yang bekerja dengan baik, benar, jujur, dan halal, meninggalkan nama harum yang terus dikenang sepanjang masa.

Saya teringat sebuah ungkapan dalam bahasa Jawa: leres, laras, liris, lurus, laris. Secara arti harfiah, ini berarti benar, serasi, penuh perasaan, lurus, dan cepat laku. Dalam berbagai konteks kehidupan, serangkaian kata tersebut adalah “satu kesatuan” yang akan mengantarkan seseorang menjadi manusia seutuhnya.

Leres atau benar akan menjadikan seseorang mampu bertindak dan berbuat berdasarkan etika dan norma yang berlaku. Dengan cara tersebut, ia akan menjadi orang yang disegani dan dihormati, namun sekaligus mampu pula memanusiakan insan lainnya.

Laras atau serasi, akan membuat orang selalu berusaha menemukan titik keseimbangan dalam hidupnya. Ia akan menjadi orang yang menjaga harmonisasi dengan orang lain agar selalu menjadikan hidupnya penuh keberkahan.

Liris atau penuh perasaan akan membuat orang yang menjalaninya selalu memiliki multi sudut pandang. Dalam bersikap dan bertindak, ia akan memiliki empati yang tinggi sekaligus simpati yang membuat hidup diri dan sekelilingnya berjalan dengan penuh kebaikan.

Lurus adalah sikap taat pada apa yang menjadi nilai kebenaran. Jiwa, pikiran, sekaligus tindakan yang lurus akan membuat seseorang menjadi orang yang bermartabat serta dapat menjaga integritasnya.

Laris atau cepat laku adalah nilai “sebab akibat” yang timbul dari perbuatan baik, benar, jujur, dan halal yang dilakukannya. Semakin terpercaya, semakin mampu menjadi insan yang leres, laras, liris, dan lurus, biasanya orang ini akan menjadi “tumpuan” bagi banyak orang. Ia akan selalu diandalkan dalam berbagai segi kehidupan. Sehingga, hidupnya pun—secara otomatis—akan penuh keberkahan.

Inilah nilai-nilai adiluhung yang sudah sepantasnya menjadi “bekal” bagi kita semua untuk meraih kebahagiaan yang “sempurna”. Yakni, kebahagiaan yang bisa dirasakan oleh diri sendiri, dan sekaligus kebahagiaan yang mampu membuat banyak orang turut merasakan kegembiraan di dalamnya.

Pertanyaannya, nilai seperti apakah yang sedang kita junjung dan lihat belakangan ini? Memang, tak ada manusia yang 100% sempurna alias 100% hidupnya tanpa cela. Tapi, sebenarnya, justru dari ketidaksempurnaan tersebut, kalau kita mau terus “berkaca”, kita akan selalu mampu menjadi manusia pembelajar yang dapat membawa perubahan menuju kebaikan. Kalau bukan diri kita sendiri, siapa lagi yang harus memulainya? Mari, daripada mencela berbagai keburukan yang terjadi, lebih baik “menyalakan lilin terang” untuk memperbaiki diri. Sehingga, pelan tapi pasti, harapan perbaikan untuk kehidupan akan menjadi kenyataan. Dan ketika saatnya tiba, kebahagiaan akan jadi milik kita semua. 

Anda pernah mendengar kata "periode keemasan" atau masa-masa jaya? Kalimat itu sering muncul, bahkan sering menjadi mimpi, atau nostalgia. Ada masa keemasan bulutangkis, ada masa keemasan sepakbola, ada masa keemasan ini dan itu, bahkan sering disebut ada masa keemasan bangsa Indonesia, yang kerap merujuk ke berbagai masa, mulai zaman Majapahit, atau bahkan ada yang berspekulasi merujuk ke Atlantis sebagai masa lalu Indonesia.
Namun, apa itu "masa keemasan"? Kita akan melihat berbagai konteks. Dalam dunia seni rupa, pernah muncul masa keemasan, di mana perupa-perupa besar seperti Leonardo Da Vinci, Michelangelo, Raphael dan banyak lagi, lahir dan besar di tempat yang sama. Dalam dunia tenis, pernah ada masa-masa dimana petenis-petenis Rusia: Yefgeny Kafelnikov, Marat Safin, Anna Kournikova dan petenis-petenis lain seangkatannya, menguasai peta tenis dunia.
Persamaan dari kasus-kasus zaman keemasan, adalah kekuatan karakter. Mereka memiliki mental juara, mental menjadi besar. Lalu, darimana mental ini terbentuk? Mental ini terbentuk melalui budaya, atau sistem kultural yang membentuk orang-orang dalam sistem tersebut. Sistem inilah yang hilang di bangsa kita. Sistem ini sebenarnya ada di setiap budaya lokal, namun seiring waktu terlupakan dan hanya dipandang sekedar heritage.
Membangun bangsa yang plural ini, membutuhkan fondasi yang kuat, yaitu karakter. Orang-orang yang berkarakter, tidak akan terjebak dalam naluri rendah yang menyebabkan intoleransi. Orang-orang yang berkarakter, tahu membentuk dirinya berdasarkan potensi dan keunikannya masing-masing, dan bukan berlindung di balik penyeragaman. Karena pada dasarnya, manusia diciptakan unik, bukan seragam. Manusia berkarakterlah, yang akan membebaskan dirinya dari jeratan hasrat untuk kepemilikan yang dilakukan dengan tindakan curang atau korupsi. Mereka tahu bahwa dengan kapasitas dirinya yang berkembang, maka segala bentuk materi akan mengikuti. Manusia berkarakter, adalah manusia yang sadar bahwa kebebasan dirinya menentukan perkembangan dirinya. Kebebasan, bukan perilaku seenak udel melainkan bebas memilih perilaku bermartabat yang membuat hidupnya berkembang. Bebas melepaskan diri dari godaan untuk membuat dirinya nista atau tak bernilai hanya semata memenuhi hasratnya. 
Jean Paul Sartre, filsuf eksistensialis, mengatakan bahwa manusia adalah kebebasan. Sartre menolak segala konsep determinisme. Pada awalnya manusia memang bukan siapa-siapa, tapi seiring perkembangan dirinya, manusia sendirilah yang menentukan ia akan menjadi manusia seperti apa.
Sistem kultural, adalah tempat yang menyemai kebebasan manusia dan memberinya tempat yang tepat untuk tumbuh. Inilah sistem yang dulu pernah digagas Ki Hadjar Dewantara melalui Taman Siswa. Pendidikan adalah wadah untuk menjadikan apa yang natur menjadi kultur, dan peran guru hanya sebagai "among", atau pengasuh. Segala yang dibutuhkan siswa sudah ada dalam dirinya, jadi guru bukan mencekoki siswa dengan pengetahuan dari luar. Siswa dibiarkan tumbuh dan menjadi. Itulah eksistensi, yang mentransformasi esensi menjadi kemenjadian.
Sartre menjelaskan bahwa eksistensi manusia ditentukan oleh perbuatan. Dengan kata lain, manusia menentukan dirinya sendiri. Setiap manusia memiliki esensi, namun tanpa eksistensi, esensi itu tak pernah menjadi. Setiap orang memiliki talenta, namun tanpa eksistensi, maka talenta itu tak pernah menjadikannya seseorang. Di sinilah sebenarnya prinsip penting dari kebebasan, yaitu setiap orang mesti menggali esensinya dan mewujudkannya ke dalam eksistensi. Ini bukan persoalan mudah, karena di sekeliling bisa jadi banyak godaan yang akan membuat orang menjadi orang lain, atau menginginkan menjadi yang bukan esensi dirinya.
Dalam hemat saya, kita memerlukan sebuah revolusi dalam pendidikan. Dibutuhkan pendidikan yang mampu membentuk karakter kuat. Pendidikan yang membuat orang tahu dimana letak esensinya dan kebebasan dalam mewujudkannya. Kita membutuhkan pendidikan, yang mampu membangun dan membawa pada kegemilangan bangsa ini. Pendidikan yang mesti dimulai dari teladan yang diberikan oleh para tokoh dan pemimpin.
Saya, berharap banyak untuk itu. Bagaimana dengan Anda?


Dikisahkan, ada seorang pemuda berusia menjelang 30 tahun, tetapi memiliki kemampuan berpikir layaknya anak berusia di bawah 10 tahun sederhana dan apa adanya. Ibunya dengan penuh kasih memelihara dan mendidik anaknya agar kelak bisa hidup mandiri dengan baik.

Suatu hari, si anak yang sangat mencintai ibunya, berkata, "Ibu, aku sangat senang melihat ibu tertawa. Wajah ibu begitu cantik dan bersinar. Bagaimana caranya agar aku bisa membuat ibu tertawa setiap hari?"

"Anakku, berbuatlah baik setiap hari. Maka, ibu akan tertawa setiap hari," ujar sang ibu.

"Bagaimana caranya berbuat baik dan bagaimana harus setiap hari?" tanya si anak.

"Berbuat baik adalah bila kamu bekerja, bekerjalah dengan sungguh-sungguh. Bantulah orang lain terutama orang-orang tua yang perlu dibantu, sakit, atau kesepian. Kamu bisa sekadar menemaninya atau membantu meringankan pekerjaan mereka. Perlakukanlah orang-orang tua itu sama seperti kamu membantu ibumu. Pesan ibu, jangan menerima upah. Setelah selesai membantu, mintalah sobekan tanggalan dan kumpulkan sesuai urutan angkanya. Kalau angkanya urut artinya kamu sudah berbuat baik setiap hari. Dengan begitu ibu pun setiap hari pasti akan senang dan tertawa," jawab sang ibu sambil membelai sayang anak semata wayangnya itu.

Beberapa waktu berlalu dan ibu dari si anak meninggal. Namun karena kenangan dan keinginannya melihat ibunya tertawa, setiap hari sepulang kerja, dia berkeliling kampung  membantu orang-orang tua. Kadang memijat, menimba air, memasakkan obat, atau sekadar menemani dengan senang dan ikhlas. Bila ditanya orang kenapa hanya sobekan tanggalan yang diterimanya setiap hari? Dia pun menjawab, "Karena setiap hari, setibanya di rumah, sobekan tanggalan yang aku kumpulkan, aku susun sesuai dengan nomor urutnya. Maka setiap hari aku seakan bisa mendengar ibuku sedang melihat aku dan tertawa bahagia di atas sana."

Si pemuda yang berpikiran sederhana itu  pun telah menjadi sahabat banyak orang di desa. Sehingga suatu ketika, atas usul dari seluruh warga, karena kebaikan hatinya, dia dianugerahi oleh pemerintah bintang kehormatan dan dana pensiun selama hidup untuk menjamin tekadnya, yakni setiap hari bisa membantu orang lain.